Tampilkan postingan dengan label judul akutansi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label judul akutansi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 April 2024

Faktor – Faktor yang Menyebabkan Kepuasan Kerja


Menurut Kreitner dan Kinicki (2010) terdapat lima factor yang
mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja, yaitu sebagai berikut :

  1. Pemenuhan kebutuhan (Need fulfillment)
    Bahwa kepuasan kerja ditentukan oleh tingkatakn karakteristik
    pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk
    memenuhi kebutuhannya.
  2. Perbedaan (Discrepancies)
    Bahwa kepuasan kerja merupakan suatu hasil memenuhi
    harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara
    apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari
    pekerjaan.
  3. Pencapaian nilai (Value attainment)
    Bahwa kepuasan kerja merupakan hasil dari persepsi pekerjaan
    memberikan pemenuhan nilai kerjaindividual yang penting.
  4. Keadilan (Equity)
    Bahwa kepuasan kerja merupakan fungsi dari seberapa adil
    individu diperlukan di tempat kerja. Kepuasan merupakan hasil
    dari presepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan
    inputnya relative lebih menguntungkan dibandingakan dengan
    perbandingan antara keluaran dan masukkan pekerjaan lainnya.
  5. Komponen genetik (Dispositional/genetic components)
    Beberapa rekan kerja atau teman tampak puas terhadap variasi
    lingkungan kerja, sedangkan lainnya terlihat tidak puas. Model
    ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagai
    fungsi sifat pribadi dari factor genetic.

Pengertian Kepuasan Kerja


Menurut Robbins (2017) Kepuasan kerja (job statisfaction) yang
menejelaskan suatu perasaan positif tentang pekerjaan, yang dihasilkan
dari suatu evaluasi pada karakteristik-karakteristiknya. Seseorang
dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan yang
positif mengenai pekerjaannya, sedangkan seseorang dengan level yang
rendah memiliki perasaan yang negatif. Sutrisno (2009) kepuasan kerja
adalah suatu reaksi emosional yang kompleks. Reaksi emosional ini
adalah merupakan akibat dari dorongan, keinginan, tuntutan dan
harapan-harapan karyawan terhadap pekerjaan yang dihubungkan
dengan realita-realita yang dirasakan karyawan, sehingga menimbulkan
suatu bentuk reaksi emosional yang berwujud perasaan senang, perasaan
puas ataupun perasaan tidak puas.
Menurut Hasibuan (2006) kepuasan kerja adalah sikap emosional
yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan
oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Sedangkan menurut
Handoko (2008) menyatakan bahwa kepuasan kerja (job satisfaction)
adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan di mana para karyawan memandang pekerjaan mereka

Indikator Budaya Organisasi


Budaya organisasi diukur dengan skala yang dikembangkan oleh
Van den Berg dan Wilderom (2004) sebagai berikut :

  1. Otonomi (autonomy)
    Hal ini mencerminkan tingkat kebebasan dan pemberdayaan
    yang diberikan kepada karyawan dalam organisasi. Hal ini
    memainkan peran penting dalam membuat karyawan merasa
    terlibat dan dihargai.
  2. Orientasi eksternal (external orientation)
    Organisasi bersifat responsif terhadap perubahan yang terjadi di
    lingkungannya. Oleh karena itu jarang sekali suatu organisasi
    melakukan perubahan besar tanpa adanya dorongan yang kuat
    dari lingkungannya. Ini menandakan tingkat dan ketepatan
    dengan mana sebuah organisasi merespon perubahan dalam
    lingkungan eksternal. Karyawan menganggap ini sebagai
    dimensi penting yang mencerminkan proactiveness, pandangan
    jauh ke depan, dan ketangkasan organisasi.
  3. Kerjasama antar departemen (interdepartmental co-operation)
    Mengacu pada sejauh mana departemen yang berbeda dalam
    suatu organisasi saling membantu yang bertujuan untuk
    kelancaran orgnisasi. Hal ini meningkatkan rasa aman dan
    memiliki pada diri karyawan dengan organisasi.
  4. Orientasi sumber daya manusia (human resources orientation)
    Berkaitan dengan berbagai kebikan sumber daya manusia yang
    ada dalam organisasi. Dimensi ini merefleksikan filosofi
    bagaimana organisasi memperlakukan para karyawannya. Hal
    ini mendefinisikan kepercayaan dan respect yang dimiliki
    organisasi terhadap karyawannya.
  5. Orientasi peningkatan (improvement orientation)
    Sejauh mana organisasi berusaha untuk berkembang dan
    berinovasi dengan memberikan karyawan fleksibilitas dan
    memberdayakan karyawan untuk berpikir di luar kebiasaan.
    Karyawan dapat berkembang dalam organisasi ketika karyawan
    diijinkan untuk membuat kesalahan, belajar, dan terus menerus
    untuk melakukan perbaikan.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Budaya Organisasi


Menurut Robbins (2011) ada enam faktor penting yang
mempengaruhi budaya organisasi yaitu:

  1. Observed behavioral regularities
    Cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika
    anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka
    mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual
    tertentu.
  2. Norms
    Standar perilaku yang ada termasuk di dalamnya tentang
    pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan.
  3. Dominant values
    Nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota
    organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi,
    absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi.
  4. Philosophy
    Kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam
    memperlakukan pelanggan dan karyawan
  5. Rules
    Pedoman yang kuat di katakan dengan kemajuan organisasi.
  6. Organization Climate
    Perasaan keseluruhan (anoverall feeling) yang tergambarkan
    dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi
    para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi
    memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain.

Macam-macam Gaya Kepemimpinan


Menurut Rivai (2004:122) ada tiga macam gaya kepemimpinan yang
memengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai, yaitu :

  1. Gaya Kepemimpinan Otoriter
    Kepemimpinan otoriter disebut juga kepemimpinan direktif atau
    diktator. Pemimpin memberikan instruksi kepada bawahan,
    menjelaskan apa yang harus dikerjakan, selanjutnya karyawan
    menjalankan tugasnya sesuai dengan yang diperintahkan oleh atasan.
    Gaya kepemimpinan ini menggunakan metode pendekatan kekuasaan
    dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya, sehingga
    kekuasaanlah yang paling diuntungkan dalam organisasi.
    Ciri-ciri kepemimpinan otoriter :
    a. Wewenang mutlak terpusat pada pimpinan;
    b. Keputusan dibuat oleh pimpinan;
    c. Kebijaksanaan selalu dibuat oleh pimpinan;
    d. Komunikasi berlangsung satu arah dari pimpinan ke bawahan;
    e. Pengawasan terhadap sikap tingkah laku, perbuatan atau kegiatan
    para bawahannya dilakukan secara ketat;
    f. Tiada ada kesempatan bagi bawahan untuk memberikan saran,
    pertimbangan, atau pendapat;
    g. Tugas-tugas dari bawahan diberikan secara instruktif;
    h. Tanggung jawab keberhasilan organisasi hanya dipikul oleh
    pimpinan. (Sutarto 2006: 73)
  2. Gaya Kepemimpinan Demokratis
    Gaya kepemimpinan ini ditandai oleh adanya suatu struktur yang
    pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan
    yang kooperatif. Di dalam gaya kepemimpinan ini, ada kerjasama
    antara atasan dengan bawahan. Di bawah kepemimpinan demokratis
    bawahan cenderung bermoral tinggi, dapat bekerja sama,
    mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri.
    Ciri-ciri kepemimpinan demokratis sebagai berikut :
    a. Wewenang pemimpin tidak mutlak;
    b. Keputusan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan;
    c. Kebijaksanaan dibuat bersama pimpinan dan bawahan;
    d. Komunikasi berlangsung timbal balik, baik yang terjadi antara
    pimpinan dan bawahan maupun antara sesama bawahan;
    e. Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan
    para bawahan dilakukan secara wajar;
    f. Banyak kesempatan bagi bawahan untuk menyampaikan saran,
    pertimbangan, atau pendapat;
    g. Tugas-tugas kepada bawahan diberikan dengan lebih bersifat
    permintaan dan pada instruksi;
    h. Tanggung jawab keberhasilan organisasi dipikul bersama pimpinan
    dan bawahan. (Sutarto 2006: 75-76)
  3. Gaya Kepemimpinan Bebas (Laissez-Faire)
    Gaya kepemimpinan ini memberikan kekuasaan penuh pada bawahan,
    struktur organisasi bersifat longgar, pemimpin bersifat pasif. Peran
    utama pimpinan adalah menyediakan materi pendukung dan
    berpartisipasi jika diminta bawahan.
    Ciri-ciri kepemimpinan bebas (Laissez-Faire) sebagai berikut :
    a. Pemimpin melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada bawahan;
    b. Keputusan lebih banyak dibuat oleh para bawahan;
    c. Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh para bawahan;
    d. Pimpinan hanya berkomunikasi apabila diperlukan oleh bawahan;
    e. Hampir tiada pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan,
    atau kegiatan yang dilakukan para bawahan;
    f. Peranan pimpinan sangat sedikit dalam kegiatan kelompok;
    g. Kepentingan pribadi lebih utama dari kepentingan kelompok;
    h. Tanggung jawab keberhasilan organisasi dipikul orang perorangan.
    (Sutarto 2006: 77-78)

Gaya Kepemimpinan


Menurut Ndraha (2011:221), gaya kepemimpinan merupakan salah satu
variabel yang sering dijadikan variabel penelitian. Gaya kepemimpinan
dapat juga disebut gaya kekepalaan. Gaya kepemimpinan merupakan
kombinasi antara variasi nilai kemimpinan dengan variasi nilai
kekepalaan.
Menurut Rivai (2013: 42) gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh
dari tindakan seorang pemimpin, baik yang tampak maupun tidak tampak
oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang
konsisten dari falsafah, keterampilan, sifat, dan sikap yang mendasari
perilaku seseorang.
Menurut Thoha (2003:303) gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh
dari tindakan seorang pemimpin, yang tampak dan yang tidak tampak oleh
bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang
konsisten dari falsafah, keterampilan, sifat dan sikap yang mendasari
perilaku seseorang. Gaya kepemimpinan yang menunjukkan secara
langsung maupun tidak langsung, tentang keyakinan kepemimpinan
terhadap kemampuan bawahannya. Artinya, gaya kepemimpinan adalah
perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan
sifat, sikap, yang sering diterapkan pemimpin ketika mencoba
memengaruhi kinerja bawahannya.  

Konsep Kepemimpinan Pemerintahan


Menurut Rasyid (2000:37) secara umum dapat dimaknai bahwa kepemimpinan
pemerintahan adalah kepemimpinan dalam pemerintahan atau secara
operasional dapat dijelaskan bahwa kepemimpinan pemerintahan adalah
penerapan prinsip-prinsip dasar kepemimpinan di bidang pemerintahan.
Sedangkan Pamudji (2009:52) berpendapat dalam hubungannya dengan
kepemimpinan pemerintahan Indonesia terdapat pada setiap tingkat
pemerintahan, Nasional/Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota, Kecamatan dan
juga tingkat pemerintahan kelurahan/desa. Lebih lanjut jika pengertian ini
dikaitkan dengan pemerintahan daerah maka kepemimpinan pemerintahan
daerah adalah penerapan dasar-dasar kepemimpinan pada umumnya dalam
sistem pemerintahan di daerah yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.
Melengkapi pendapat di atas Kaloh (2009:2) menjelaskan bahwa berdasarkan
sistem pemerintahan Indonesia maka pemimpin pemerintahan adalah mereka
yang dikategorikan sebagai pemimpin pada ketiga cabang pemerintahan yaitu
eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dari sisi lain pemimpin pemerintahan
dapat dibedakan menjadi pemimpin politik yang tersusun secara hierarkis
mulai dari presiden yang dibantu para menteri, gubernur, bupati/wali kota dan
kepala desa/lurah dan pemimpin yang menduduki jabatan struktural yaitu
mereka yang menduduki jabatan secara berjenjang yang tersusun dari eselon I,
II, III, IV. Para pejabat politik dan pejabat struktural digolongkan sebagai
pemimpin pemerintahan karena mereka adalah aktor pemerintahan yang
melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan guna mewujudkan kehidupan
masyarakat yang tertib dan maju serta mendapatkan pelayanan yang adil dan
merata. Para pemimpin pemerintahan ini harus memiliki sifat dan perilaku
yang bersedia berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara serta
masyarakat pada umumnya, siap mengorbankan diri demi membela martabat,
kehormatan dan kejayaan bangsa dan negaranya serta jauh dari sifat
mementingkan diri sendiri, boros, serakah, tidak dapat mengendalikan diri, dan
sombong.

Tipe-Tipe Kepemimpinan


Menurut Rasyid (2000:37) tipe-tipe kepemimpinan dibedakan menjadi:

  1. Berdasarkan sikap pemimpin terhadap kekuasaan dan organisasi dikenal 5
    tipe pemimpin, yaitu sebagai berikut:
    a. Climbers, ialah tipe pemimpin yang selalu haus akan kekuasaan,
    prastige dan kemajuan diri, berusaha maju terus menerus dengan
    kekuasaan sendiri, oportuninistis, agresif, suka dan mendorong
    perubahan dan perkembangan dan berusaha berombak terus menerus.
    b. Conservers, ialah tipe pemimpinyang mementingkan jaminan dan
    keenak, memertahankan statusquo memerkuat posisi yang telah dicapai,
    menolak perubahan, defensifa statis. Tipe ini biasanya terdapat pada
    middle management atau dimiliki oleh para pejabat yang sudah lanjut
    usia.
    c. Zealots, ialah tipe pemimpin yang bersemangat untuk memerbaiki
    organisasi, mengutamakan tercapainya tujuan, memunyai visi,
    menyendiri aktif, agresif, bersedia menghadapi segala permusuhan dan
    pertentangan, tegas, memunyai dorongan yang keras untuk maju, tidak
    sebaran untuk mengadakan perbaikan dan menetukan sesuatu yang baru,
    mementingkan kepekaan daripada human relations. d. Advocates, ialah tipe pemimpin yang ingin mengadakan perbaikan
    organisasi, terutama bagiannya sendiri, mementingkan kepentingan
    keseluruhan organisasi daripada kepentingan sendiri, pejuang yang gigih
    dan bersemangat untuk kepentingan orang-orang dan programnya,
    bersedia menghadapi pertentangan apabila mendapat dukungan dari
    kolega-koleganya, sangat responsif terhadap ide-ide dan pengaruh orang
    lain, keluar bersedia memertahankan kelompok dengan tindakan
    partisan, ke dalam bersikap jujur dan tidak menyebelah.
    e. Statesmen, ialah tipe pemimpin yang mementingkan tujuan organisasi
    secara keseluruhan dan misi organisasi, berusaha berdiri di atas
    kepentingan-kepentingan, tidak menyukai pertentangan yang merugikan
    pihak-pihak yang bersangkutan, berusaha memertemukan pertentangan.
  2. Tipe-tipe Berdasarkan Kekuasaan
    Kaitan hubungannya dengan kekuasaan, tipe pemimpin dapat
    diklasifikasikan sebagai berikut:
  3. Autoraic leader, ialah tipe pemimpin yang menggantungkan tertama pada
    kekuasaan formulanya, organisasi dipandang sebagai milik pribadi,
    mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan oraganisasi, hak dan
    wewenang adalah milik pribadi. Leadership adalah hak pribadi, bawahan
    adalah alat, ia harus mengikuti saja, tidak memberi kesempatan kepada
    bawahan untuk ikut mengambil bagian dalam pengambilan keputusan,
    tidak mau menerima kritik, saran atau pendapat, tidak mau berunding
    dengan bawahan, keputusan diambil sendiri, memusatkan kesuasaan
    untuk mengambil, paksaan atau kekuatan dan mengagungkan diri.
  4. Participative leader, juga disebut pemimpin yang demokratis, ialah tipe
    pemimpin yang memandang manusia adalah manusia yang termulia,
    memimpin dengan persuasi dan memberikan contoh, memerhatikan
    perasaan pengikut, menyinkronisasikan kepentingan dan tujuan
    organisasi dengan kepentingan organisasi dan kepentingan pengikut,
    senang menerima saran, pendapat atau kritik, menerima partisipasi
    informil dari kelompok, memanfaatkan pendapat-pendapat kelompok,
    menunggu persetujuan kelompok, menunggu persetujuan kelompok,
    berunding dengan pengikut, mengutamakan kerja sama,
    mendesentralisasikan wewenang, memberikan kebebasan untuk bawahan
    untuk bertindak, menstimulir inisiatif, mendorong partisipasi pengikut
    dalam pengambilan keputusan, memberikan informasi yang luas kepada
    pengikut, membuat pengikut lebih sukses.
  5. Free rein leader, disebut juga pemimpin yang liberal, ialah tipe
    pemimpin yang menghindari kekuasaan, tergantung pada kelompok
    anggota, kelompok memotivikasikan diri sendiri, hanya bertindak
    sebagai perantara dengan dunia luar untuk menyajikan informasi kepada
    kelompok, tidak berhasil memahami sumbangan management, tidak
    dapat memahami peranan motivasi yang diberikan dan melakukan
    pengendalian yang minimal.
  6. Tipe-tipe Berdasarkan Orientasi Pemimpin
    Tipe-tipe berdasarkan orientasi pemimpin, terdiri dari dua golongan
    pemimpin, yaitu pemimpin yang berorientasi pada pengikutnya pada
    pengikut atau pegawai, dan pemimpin yang berorientasi pada produksi.
  7. Tipe-tipe Berdasarkan Cara Memotivasi
    Dalam hal ini, terbagi dalam tipe pemimpin yang positif dan pemimpin yang
    negatif. Pemimpin yang negatif, ialah tipe pemimpin yang menekankan
    kepada perangsang yang bersifat negatif, misalnya ancaman, hukuman dan
    lain-lain. Sedangkan tipe pemimpin yang positif, ialah pemimpin yang
    dalam memotivasikan pengikutnya menekankan pada pemberian hadiah.
  8. Tipe-tipe Berdasarkan Segi Landasan yang dipergunakan untuk
    memengaruhi pengikut dari segi landasan yang dipergunakan oleh
    pemimpin untuk memengaruhi pengikut, dapat diklasifikasikan pemimpin
    dalam 3 kategori sebagai berikut:
  9. Pemimpin tradisional, berusaha memengaruhi pengikutnya berdasarkan
    tradisi yang ada.
  10. Pemimpin yang kharismatik, memergunakan kharismanya (kesaktian,
    kekuatan gaib).
  11. Pemimpin rasional, kadang-kadang disebut pemimpin birokratis oleh
    karena pemimpin tipe ini biasanya terdapat di dalam organisasi
    birokratis, memergunakan rasio untuk memengaruhi pengikutnya.
  12. Tipe-tipe Pemimpin Berdasarkan Kepribadiannya
    Tipe-tipe pemimpin berdasarkan kepribadiannya terdiri dari 6 macam
    sebagai berikut:
    a. Tipe ekonomis, tipe yang perhatiannya dicurahkan kepada segala
    sesuatu yang bermanfaat dan praktis., b. Tipe aestheis, yaitu tipe yang berpendapat bahwa nilai yang tertinggi
    terletak pada harmoni dan individualitas., c. Tipe teoritis, yaitu tipe yang perhatian utamanya ialah menemukan
    kebenaran hanya untuk mencapai kebenaran, perbedaan dan
    rasionalitas., d. Tipe sosial, yakni tipe pecinta orang lain, tujuan akhirnya adalah orang
    lain. Berhubungan dengan sifatnya yang ramah tamah, simpatik, dan
    tidak mementingkan diri sendiri., e. Tipe politis, yaitu tipe yang perhatian utamanya diarahkan kepada
    kekuasaan, menginginkan kekuasaan perseorangan pengaruh dan
    reputasi.,
    f. Tipe religius, yaitu tipe yang berpendapat bahwa nilai yang tertinggi
    ialah pengalaman yang memberikan kepuasan tertinggi dalam kehidupan
    spritual dan bersifat mutlak.,

Karakteristik Pemimpin


Kepemimpinan mungkin hanya terbentuk dalam suatu lingkungan yang secara
dinamis melibatkan hubungan di antara sejumlah orang. Kongkritnya, seorang
hanya bisa mengklaim dirinya sebagai seseorang pemimpin jika ia memiliki
sejumlah pengikut. Selanjutnya antara para pemimpin dan pengikutnya terjalin
ikatan emosional dan rasional menyangkut kesamaan tujuan yang ingin
dicapai. Walaupun dalam realitasnya sang pemimpinlah yang biasanya
memerkenalkan atau bahkan merumuskan nilai dan tujuan. Di dalam
kepemimpinan ada beberapa karakter yang sangat menentukan untuk
pencapaian tujuan suatu organisasi.
Rasyid (2000:37) menjelaskan beberapa karakter kepemimpinan yang berbeda
satu sama lain, yaitu sebagai berikut :

  1. Kepemimpinan yang Sensitif
    Kepemimpnan ini ditandai dengan adanya kemampuan untuk secara dini
    memahami dinamika perkembangan masyarakat, mengenai apa yangmereka
    butuhkan, mengusahakan agar ia menjadi pihak pertama yang memberi
    perhatian terhadap kebutuhan tersebut. Dalam karakter kepemimpinan
    tersebut, kemampuan berkomunikasi dari pada pemimpin pemerintahan
    yang disertai para penerapan transformasi di dalam proses pengambilan
    keputusan merupakan prasyarat bagi pemerintah dalam mengemban segala
    tugas-tugasnya.
  2. Kepemimpinan yang Responsif
    Di dalam konteks ini, pemimpin lebih aktif mengamati dinamika
    masyarakat secara kreatif berupaya memahami kebetuhan mereka, maka
    kepemimpinan yang responsif lahir lebih banyak berperan menjawab
    aspirasi dan tuntutan masyarakat yang disalurkan melalui berbagai media
    komunikasi, menghayati suatu sikap dasar untuk mendengar suara rakyat,
    mau mengeluarkan energi dan menggunakan waktunya secara cepat dan
    menjawab pertanyaan, menampung setiap keluhan, memerhatikan setiap
    tuntutan dan memanfaatkan setiap dukungan masyarakat tentang suatu
    kepentingan umum.
  3. Kepemimpinan yang Defensif
    Karakter kepemimpinan ini di tandai dengan sikap yang egoistik, merasa
    paling benar, walaupun pada saat yang sama memiliki kemampuan
    argumentasi yang tinggi dalam berhadapan dengan masyarakat. Komunikasi
    antara pemerintah dengan masyarakat cukup terpelihara tetapi pada
    umumnya pemerintah selalu mengambil posisi sebagai pihak yang lebih
    benar, lebih mengerti. Oleh karena itu keputusan dan penilaiannya atas
    sesuatu isu lebih patut diikuti oleh masyarakat. Posisi masyarakat lemah,
    sekalipun tetap tersedia bagi ruang bagi mereka untuk bertanya,
    menyampaikan keluhan, aspirasi dan lain sebagainya. Karakter
    kepemimpinan semacam ini bisa berhasil dalam jangka waktu tertentu.
    Tetapi ketika berhadapan dengan masyarakat yang semakin berkembang
    baik secara sosial, ekonomi maupun secara intelektualitas , karakter defensif
    ini akan sulit untuk melakukan manufer.
  4. Kepemimpinan yang Represif
    Karakter kepemimpinan ini cenderung sama egois dan arogannya dengan
    karakter kepemimpinan defensif, tetapi lebih baik buruk lagi karena tidak
    memiliki kemampuan argumentasi atau justifikasi dalam memertahankan
    keputusan atau penilaiannya terhadap suatu isu ketika berhadapan dengan
    masyarakat. Karekter kepemimpinan yang refresif ini secara total selalu
    merupakan beban yang berat bagi masyarakat. Ia bukan saja tidak memiliki
    kemampuan untuk menyelesaikan berbagai masalah fundamental dalam
    masyarakat, tetapi bahkan cenderung merusak moralitas masyarakat.
    singkatnya kepemimpinan yang refresif ini lebih mewakili sifat diktatorial.

Kepemimpinan


Kepemimpinan (Leadership) adalah proses memengaruhi atau memberi
contoh kepada pengikut-pengikutnya lewat prses komunikasi dalam upaya
mencapai tujuan organisasi. Keseluruhan tindakan guna memengaruhi serta
menggiatkan orang dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan, atau
dengan definisi yang lebih lengkap dapat dikatakan bahwa kepemimpinan
adalah proses pemberian jalan yang mudah dari pada pekerjaan orang lain
yang terorganisir dalam organisasi formal guna mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. ( Rivai, 2013 : 2)
Selanjutnya menurut Kartono (2010:5-8) berpendapat bahwa kepemimpinan
merupakan salah relasi dan pengaruh antara pemimpin dengan yang
dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil
dari interaksi otomatis anatara pemimpin dengan orang-orang yang
dipimpinnya.  

Pemimpin


Pemimpin adalah seseorang yang memergunakan wewenang dan
kepemimpinannya untuk mengarahkan orang lain serta bertanggung jawab
atas pekerjaan orang tersebut dalam mencapai suatu tujuan. Pemimpin
(leader) memunyai macam-macam pengertian dari para ahli. Berikut ini
terdapat beberapa definisi tentang pemimpin yang dikemukakan oleh para
ahli diantaranya :
Menurut Kartono (2010:18), pemimpin adalah seorang pribadi
yangmemiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan dan
kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu memengaruhi orang lain
untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi
pencapaian satu atau beberapa tujuan.
Menurut Fairchild (dalam Kartono2010:23) “pemimpin adalah seorang yang
memimpin dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan
mengatur, mengarahkan, mengorganisir atau mengontrol usaha atau upaya
orang lain atau melalui kekuasaan dan posisi”.

Konsep Tentang Persepsi


“Persepsi adalah tanggapan untuk penerimaan langsung dari suatu serapan atau
proses seseorang untuk mengetahui beberapa hal melalui panca indranya”
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007). Setiap individu dalam melakukan
setiap persepsi akan melalui proses tahapan-tahapan tertentu. Menurut Rahmad
(1994:50) “Proses terjadinya persepsi adalah sebagai berikut: “objek yang
menyentuh alat indera sehingga menimbulkan stimuli, oleh alat penerima atau
alat indera, stimuli ini akan diubah menjadi energi syaraf untuk ke otak,
melalui proses transduksi, dalam otak stimuli akan diproses sehingga individu
dapat memahami dan menafsirkan pesan atau objek yang telah diterimanya,
maka pada tahap inilah persepsi terjadi”.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa proses terjadinya
persepsi didahului oleh alat indera kemudian diproyeksikan ke otak, sehingga
individu dapat menyadari terjadinya persepsi mencakup (input) oleh alat
indera, pengorganisasian dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah
terorganisir dengan cara yang dapat memengaruhi perilaku dan membentuk
persepsi. Di dalam pembentukannya persepsi akan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni :

  1. Faktor fungsional yang memengaruhi atau sering disebut kerangka rujukan
    (Frame Of Reference), dimana kerangka rujukan memengaruhi bagaimana
    orang memberi makna pada pesan yang diterima. Faktor fungsional ini
    dijelaskan oleh Kreach dan Crutchild dalam bentuk dalil bahwa persepsi
    bersifat selektif fungsional dimana objek-objek yang mendapat tekanan
    dalam persepsi kita, biasanya objek yang melakukan persepsi yang
    dipengaruhi oleh pendidikan dan latar belakang budaya seseorang. 2. Faktor struktural semata-mata berasal dari stimuli fisil dan efek-efek saraf
    yang ditimbulkan pada sistem saraf individu yang dalam hal ini erat
    kaitannya dengan faktor usia (Rahmat, 1999:59).
    Aspek-aspek tersebut di atas akan sangat berpengaruh terhadap perbedaan
    persepsi seseorang baik terhadap objek yang sama dan terlebih lagi terhadap
    objek yang berbeda. Oleh karena itu setiap orang akan memberi tanggapan
    terhadap suatu objek tertentu menurut cara masing-masing individu.
    Selanjutnya menurut Mar’at (1984:21) “Persepsi merupakan proses
    pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi, aspek kognisi
    merupakan aspek penggerak perubahan, karena informasi kognisi akan
    berpengaruh untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap suatu objek
    yang merupakan jawaban atas pertanyaan apa yang dipikirkan atau
    dipresepsikan tentang obyek tertentu.”
    Komponen kognisinya itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai
    berikut :
  2. Faktor pengalaman., 2. Faktor proses belajar., 3. Cakrawala., 4. Pengetahuan (Mar’at, 1984 : 22)

Rabu, 17 April 2024

Pengertian Kepuasan Kerja


Menurut Robbins (2017) Kepuasan kerja (job statisfaction) yang
menejelaskan suatu perasaan positif tentang pekerjaan, yang dihasilkan
dari suatu evaluasi pada karakteristik-karakteristiknya. Seseorang
dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan yang
positif mengenai pekerjaannya, sedangkan seseorang dengan level yang
rendah memiliki perasaan yang negatif. Sutrisno (2009) kepuasan kerja
adalah suatu reaksi emosional yang kompleks. Reaksi emosional ini
adalah merupakan akibat dari dorongan, keinginan, tuntutan dan
harapan-harapan karyawan terhadap pekerjaan yang dihubungkan
dengan realita-realita yang dirasakan karyawan, sehingga menimbulkan
suatu bentuk reaksi emosional yang berwujud perasaan senang, perasaan
puas ataupun perasaan tidak puas.
Menurut Hasibuan (2006) kepuasan kerja adalah sikap emosional
yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan
oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Sedangkan menurut
Handoko (2008) menyatakan bahwa kepuasan kerja (job satisfaction)
adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan di mana para karyawan memandang pekerjaan mereka.

Indikator Budaya Organisasi


Budaya organisasi diukur dengan skala yang dikembangkan oleh
Van den Berg dan Wilderom (2004) sebagai berikut :

  1. Otonomi (autonomy)
    Hal ini mencerminkan tingkat kebebasan dan pemberdayaan
    yang diberikan kepada karyawan dalam organisasi. Hal ini
    memainkan peran penting dalam membuat karyawan merasa
    terlibat dan dihargai.
  2. Orientasi eksternal (external orientation)
    Organisasi bersifat responsif terhadap perubahan yang terjadi di
    lingkungannya. Oleh karena itu jarang sekali suatu organisasi
    melakukan perubahan besar tanpa adanya dorongan yang kuat
    dari lingkungannya. Ini menandakan tingkat dan ketepatan
    dengan mana sebuah organisasi merespon perubahan dalam
    lingkungan eksternal. Karyawan menganggap ini sebagai
    dimensi penting yang mencerminkan proactiveness, pandangan
    jauh ke depan, dan ketangkasan organisasi.
  3. Kerjasama antar departemen (interdepartmental co-operation)
    Mengacu pada sejauh mana departemen yang berbeda dalam
    suatu organisasi saling membantu yang bertujuan untuk
    kelancaran orgnisasi. Hal ini meningkatkan rasa aman dan
    memiliki pada diri karyawan dengan organisasi.
  4. Orientasi sumber daya manusia (human resources orientation)
    Berkaitan dengan berbagai kebikan sumber daya manusia yang
    ada dalam organisasi. Dimensi ini merefleksikan filosofi
    bagaimana organisasi memperlakukan para karyawannya. Hal
    ini mendefinisikan kepercayaan dan respect yang dimiliki
    organisasi terhadap karyawannya.
  5. Orientasi peningkatan (improvement orientation)
    Sejauh mana organisasi berusaha untuk berkembang dan
    berinovasi dengan memberikan karyawan fleksibilitas dan
    memberdayakan karyawan untuk berpikir di luar kebiasaan.
    Karyawan dapat berkembang dalam organisasi ketika karyawan
    diijinkan untuk membuat kesalahan, belajar, dan terus menerus
    untuk melakukan perbaikan.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Budaya Organisasi


Menurut Robbins (2011) ada enam faktor penting yang
mempengaruhi budaya organisasi yaitu:

  1. Observed behavioral regularities
    Cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika
    anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka
    mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual
    tertentu.
  2. Norms
    Standar perilaku yang ada termasuk di dalamnya tentang
    pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan.
  3. Dominant values
    Nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota
    organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi,
    absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi.
  4. Philosophy
    Kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam
    memperlakukan pelanggan dan karyawan
  5. Rules
    Pedoman yang kuat di katakan dengan kemajuan organisasi.
  6. Organization Climate
    Perasaan keseluruhan (anoverall feeling) yang tergambarkan
    dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi
    para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi
    memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain

Pengertian Budaya Organisasi


Budaya organisasi merupakan suatu kebiasaan atau tradisi yang
dianut oleh semua anggota organisasi dan para anggota baru yang harus
mempelajari atau sedikit menerima sebagian dari budaya tersebuat agar
dapat diterima sebagai bagian dari suatu organisasi. Robbins (2017)
budaya organisai adalah mengacu pada system berbagi arti yang
dilakukan oleh para anggota yang membedakan oraganisasi dari
organisasi lainnya. Menurut Luthans (2011) budaya organisasi adalah
nilai-nilai dan keyakinan bersama yang memungkinkan anggota-
anggota untuk memahami peran mereka dalam organisasi dan normanorma organisasi.
Menurut Sedarmayanti (2017) budaya oganisasi adalah sebuah
keyakinan, sikap dan nilai yang umumnya dimiliki, yang timbul dalam
organisasi dikemukakan dengan lebih sederhana, budaya adalah cara
kita melakukan sesuatu di sini. Pola nilai, norma, keyakinan, sikap dan
asumsi ini mungkin tidak diungkapkan, tetapi akan membentuk cara
orang berperilaku dan melakukan sesuatu. Budaya organisasi mengacu
kepada abstraksi, seperti nilai dan norma yang meliputi seluruh atau
bagian dari bisnis. Hal ini mungkin tidak di definisikan, didiskusikan
atau bahkan diperhatikan namun budaya dapat memiliki pengaruh
penting pada perilaku seseorang. Menurut Fahmi (2014) budaya
organisasi adalah suatu kebiasaan yang telah berlangsung sejak lama
dan dipakai serta diterapkan dalam kehidupan aktivitas kerja sebagai
salah satu pendorong untuk meningkatkan kualitas kerja para karyawan
dan manajer perusahaan.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Organisasi


Dalam Ismael Younis Abu-Jarad (2010) model kinerja organisasi difokuskan
pada faktor organisasi seperti sumber daya manusia kebijakan, budaya organisasi,
dan gaya iklim dan kepemimpinan organisasi. Studi lain oleh Chien (2004)
menemukan bahwa ada lima faktor utama yang menentukan kinerja organisasi, yaitu:

  1. Gaya kepemimpinan dan lingkungan
  2. Budaya organisasi
  3. Desain pekerjaan
  4. Model motif, dan
  5. Kebijakan sumber daya manusia.

Dimensi Kinerja Organisasi


Untuk menilai kinerja organisasi diperlukan indikator-indikator yang jelas
dan terarah. Indikator berfungsi sebagai ketetapan dan arahan atas indakan apa yang
harus dilakukan supaya kinerja berjalan efektif dan efisien. Kinerja organisasi yang
baik merupakan tujuan dari setiap organisasi atau perusahaan. Menurut Wirawan
(2009) dimensi-dimensi yang terdapat dalam kinerja organisasi antara lain :

  • Faktor internal karyawan, yaitu faktor-faktor dari dalam diri karyawan yang
    merupakan faktor bawaan dari lahir dan faktor yang diperoleh ketika ia berkembang.
    Faktor-faktor bawaan, misalnya bakat, sifat pribadi, serta bawaan dari lahir dan
    faktor yang diperoleh ketika ia berkembang. Faktor-faktor bawaan, misalnya bakat,
    sifat pribadi, serta keadaan fisik dan kejiwaan. Sementara itu, faktor-faktor yang
    diperoleh misalnya pengetahuan, keterampilan, etos kerja, pengalaman kerja dan
    motivasi kerja. Setelah dipengaruhi oleh lingkungan internal organisasi dan
    lingkungan eksternal, faktor internal karyawan ini juga menentukan kinerja mereka.
  • Faktor lingkungan internal organisasi, yaitu dalam melaksanakan tugasnya,
    karyawan memerlukan dukungan organisasi tempat mereka bekerja. Dukungan
    tersebut sangat mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja karyawan. Gaya
    kepemimpinan suatu organisasi juga merupakan faktor lingkungan dalam internal
    suatu organisasi.
  • Faktor lingkungan eksternal organisasi. Faktor-faktor lingkungan eksternal
    organisasi adalah keadaan, kejadian atau situasi yang terjadi di lingkungan organisasi
    yang mempengaruhi kinerja organisasi. Misalnya keadaan ekonomi suatu negara,
    budaya masyarakat dan hal lainnya.

Pengertian Kinerja Organisasi


Menurut Stooner dan Freeman (Imran Ali et al. 2010) kinerja organisasi
adalah ukuran seberapa efisien dan efektif seorang manajer yang menunjukan
seberapa baik ia menentukan dan mencapai tujuan yang tepat. Serta menunjukan
seberapa baik organisasi melakukan pekerjaan mereka. Berdasarkan pernyataan di
atas dapat disimpulkan bahwa kinerja tersebut memerlukan pengukuran dan
pengevaluasian untuk menentukan sejauh mana keberhasilan perusahaan dalam
mencapai tujuan tertentu. Ada dua aspek yang digunakan untuk mengukur kinerja
tersebut yaitu, aspek efisiensi dan efektivitas.
Di sisi lain, kinerja organisasi mengacu pada kemampuan suatu perusahaan
untuk mencapai tujuan seperti keuntungan yang tinggi, kualitas produk, pangsa pasar
yang besar, hasil keuangan yang baik, dan kelangsungan hidup pada waktu yang
telah ditentukan dengan menggunakan strategi yang relevan untuk tindakan (Koontz
dan Donnell, 1993). Kinerja organisasi juga dapat digunakan untuk melihat
bagaimana suatu perusahaan melakukan dalam hal tingkat keuntungan, pangsa pasar
dan kualitas produk dalam kaitannya dengan lainnya perusahaan dalam industri yang
sama. Akibatnya, itu adalah cerminan dari produktivitas anggota suatu perusahaan
diukur dari segi pendapatan, laba, pertumbuhan, pengembangan dan perluasan
organisasi (Obiwuru Timothy C. 2011).
Richard et al. (2009) dalam Korir Jacqueline (2012) mencatat bahwa kinerja
organisasi harus berhubungan dengan faktor-faktor seperti profitabilitas, pengiriman
peningkatan layanan, kepuasan pelanggan, pertumbuhan pangsa pasar, dan
peningkatan produktivitas dan penjualan. Oleh karena itu kinerja organisasi
dipengaruhi oleh banyaknya individu, kelompok, tugas, teknologi, struktural,
manajerial dan faktor lingkungan.
Sedangkan menurut SK menteri keuangan RI No. 740.KMK.00/1989, kinerja
adalah prestasi yang dicapai oleh BUMN dalam satu periode tertentu yang
mencerminkan tingkat kesehatan BUMN. Maka kinerja perusahaan merupakan
sejauh mana keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai tujuan tertentu dalam
periode tertentu.
Secara etimologis kinerja merupakan terjemahan dari performance berasal
dari bahasa Inggris. Kinerja merupakan suatu hasil dari kegiatan atau aktifitas dan
apakah kegiatan yang dilakukan secara intensif membawa tanggung jawab yang
efektif dan efisien. Sebuah perusahaan peduli dengan kinerja organisasi dengan cara
mengakumulasi hasil dari semua kegiatan kerja organisasi dengan
mempertimbangkan apa saja faktor yang mempengaruhi kinerja. Perusahaan
biasanya menginginkan organisasinya bekerja secara grup atau berkelompok untuk
mencapai tingkat tertinggi dalam kinerjanya (Robbins, Coulter 2010: 520).

Dimensi Komitmen Karyawan


Kaswara dan Santoso (2008) mengemukakan tiga indikator komitmen yang
digunakan dalam pendekatan untuk menentukan komitmen karyawan kepada
organisasi, yaitu :
a. Dimensi Continuance Commitment
Kecenderungan individu untuk tetap menjaga komitmen karyawan pada organisasi
karena tidak ada hal lain yang dapat dikerjakan di luar itu. Individu dengan
Continuance Commitment yang tinggi akan bertahan dalam organisasi, bukan karena
alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran dalam individu tersebut akan
kerugian besar yang dialami jika meninggalkan organisasi. Individu dengan
Continuance Commitment yang tinggi akan lebih bertahan dalam organisasi
dibandingkan yang rendah.
b. Dimensi Affective Commitment
Komitmen dimana individu memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bekerja pada
organisasi karna ada kesamaan atau kesepakatan antara nilai-nilai personal individu
dan organisasi. Komitmen afektif didasarkan pada Goal Congruence Orientation,
dimana didalamnya terdapat suatu keterikatan secara psikologis antara individu dan
organisasinya sehingga mempengaruhi perilaku individu terhadap tugas yang
diterimanya. Individu dengan Affective Commitment yang tinggi memiliki emosional
yang erat terhadap organisasi, yang berarti bahwa individu tersebut akan memiliki
motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi
dibandingkan individu dengan Affective Commitment yang lebih rendah.
c. Dimensi Normative Commitment
Komitmen normatif adalah komitmen yang menunjukkan perasaan individu yang
berkewajiban untuk tetap bekerja pada organisasinya, dan juga menunjukan adanya
kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipikul. Individu dengan normative
commitment yang tinggi akan tetap bertahan dalam organisasi karena merasa adanya
suatu kewajiban atau tugas. Perasaan seperti itu akan memotivasi individu untuk
bertingkah laku secara baik dan melakukan tindakan yang tepat bagi oraganisasi.
Perusahaan mengharapkan dengan adanya normative commitment, karyawan
memiliki hubungan yang positif dengan tingkah laku dalam pekerjaan, seperti hasil
kinerja, tingkat kehadiran kerja, dan organization citizenship