Tampilkan postingan dengan label Judul Lingkungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Judul Lingkungan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 November 2019

Proses Non-katalitik (skripsi dan tesis)


Proses transesterifikasi dengan menggunakan katalis (baik katalis homogen maupun heterogen) masih memiliki kelemahan. Oleh karena itu, para peneliti berusaha untuk mencari teknologi proses transesterifikasi baru yang dapat mengganti ataupun mengurangi kelemahan proses katalitik tersebut. Salah satu metode potensial tersebut adalah proses produksi biodiesel dengan reaksi transesterifikasi secara non-katalitik (Kusdiana dan Saka 2001, Demirbas 2002, Madras et al. 2004, Cao et al. 2005, Han et al. 2005, Bunyakiat et al. 2006, He et al. 2007, Silva et al. 2007, Varma dan Madras 2007, Rathore dan Madras 2007, Song et al. 2008, Demirbas 2008, Vieitez et al. 2008, Hawash et al. 2009, Yamazaki et al. 2007, Joelianingsih et al. 2008, Susila 2009). Menurut Kusdiana dan Saka (2001), reaksi transesterifikasi non-katalitik dapat terjadi bila alkohol mengalami kondisi superkritik pada suhu 623 K. Menurut Kusdiana dan Saka (2004), kelebihan dari metode superkritik alkohol tidak memerlukan katalis dan bisa mendekati konversi yang hampir sempurna dalam waktu yang relatif singkat.
Selain itu, menurut Diasakou et al. (1998) proses superkritik non-katalitik berpotensi memiliki keuntungan lingkungan karena tidak ada limbah yang dihasilkan dari perlakuan katalis dan pemisahan dari produk akhir. Selanjutnya, metode non-katalitik ini tidak memerlukan perlakuan awal (pretreatment) dari bahan baku karena pengotor dalam umpan bahan baku minyak tidak mempengaruhi reaksi secara signifikan. Pada kondisi di atas titik kritis (yaitu, suhu dan tekanan kritis) tapi di bawah tekanan yang dibutuhkan untuk terkondensasi menjadi padat, menurut Kusdiana dan Saka (2001) fluida berada dalam fasa superkritik (super critical fluid, SCF). Dalam kondisi seperti itu, kerapatan fasa cair dan gas menjadi identik dan perbedaan di antara keduanya lenyap (Kusdiana dan Saka 2004). Lebih khusus lagi, kondisi SCF memiliki kepadatan seperti cairan dan sifat pengangkut seperti gas (misalnya, difusivitas dan viskositas). Sifat superkritik metanol adalah Tc = 512 K dan Pc = 8.09 MPa. Keadaan superkritik metanol meningkatkan sifat saling melarutkan dari campuran minyak - metanol karena penurunan konstanta dielektrik metanol dalam keadaan superkritik (Marchetti 2013). Menurut Kusdiana dan Saka (2004), kondisi superkritik alkohol pada tekanan dan suhu kritisnya mempengaruhi mekanisme reaksi dari proses transesterifikasi. 

Potensi Sumber Katalis Heterogen di Indonesia (skripsi dan tesis)


Ketersediaan sumber alam yang cukup melimpah di Indonesia memberikan tantangan tersendiri bagi para peneliti untuk mengembangkan katalis heterogen berbasis CaO untuk transesterifikasi. Sumber alami di Indonesia yang dapat diolah menjadi katalis heterogen berbasis CaO sangat bervariasi, baik dari abu tanaman organik, cangkang hewan maupun hasil pengolahan limbah. Pemanfaatan abu dari tanaman organik ini secara umum adalah untuk mendapatkan K2CO3 sebagai katalis heterogen. Salah satu sumber alami yang dapat dijadikan katalis heterogen tersebut adalah dari abu sabut kelapa. Husin et al. (2011) melaporkan penelitian penggunaan katalis abu sabut kelapa sebagai pengganti K2CO3 untuk konversi minyak jarak menjadi biodiesel dengan metanol. Reaksi dilangsungkan dalam labu leher tiga pada temperatur konstan 333 K dengan rasio molar metanol:minyak sebesar 6:1 selama 3 jam. Menurut Husin et al. (2011), penggunaan katalis abu sabut kelapa (10%) tanpa pemijaran memberikan hasil yield biodiesel sebesar 87.05%.
Sedangkan penggunaan katalis abu sabut kelapa (10%) dengan pemijaran pada 1073 K menghasilkan yield biodiesel sebesar 87.97%. Sitorus dan Murtiasih (2015) melaporkan penelitian tentang penggunaan abu sabut kelapa (kandungan K2CO3 sebesar 17.4%) sebagai katalis heterogen basa pada proses transesterifikasi minyak jarak pagar. Reaksi transesterifikasi minyak dilakukan dengan metanol pada suhu 333 K selama 2 jam. Katalis abu sabut kelapa sebesar 4% menghasilkan konversi optimum sebesar 78.45%. Selain dari abu sabut kelapa, pemanfaatan abu tandan aren dan abu pelepah pisang juga telah diteliti. Penggunaan katalis dari abu tandan aren dilaporkan oleh Alamsyah et al. (2010) pada proses transesterifikasi minyak jelantah. Reaksi dilakukan dengan rasio molar metanol:minyak sebesar 6:1, suhu reaksi 333-343 K, selama 2 jam reaksi. Penggunaan katalis abu tandan aren 5% (abu dari kompos tandan aren) memberikan hasil terbaik dengan yield 87.90 %.
 Selain pemanfaatan abu tanaman organik, pemanfaatan cangkang hewan yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3) yang tinggi juga berpotensi sebagai sumber katalis heterogen setelah melalui proses pemijaran. Saputra et al. (2012) melaporkan penelitian transesterifikasi minyak sawit mentah (CPO) dengan katalis CaO dari cangkang bekicot yang dikalsinasi. Transesterifikasi dilakukan dengan rasio molar metanol:minyak sebesar 12:1, suhu reaksi 333 K, dan waktu reaksi selama 60 menit. Katalis dengan perlakuan kalsinasi pada suhu 1073 K sebanyak 10% memberikan hasil terbaik rendemen produk biodesel 90%. Proses kalsinasi dari cangkang hewan tersebut pada dasarnya adalah untuk mengubah kandungan CaCO3 menjadi CaO yang berpotensi sebagai katalis. Selain proses pemijaran cangkang hewan untuk mendapatkan CaO, beberapa peneliti juga melakukan proses pemijaran zat kapur alami (CaCO3) langsung untuk mendapatkan CaO sebagai katalis. Awaluddin et al. (2009) melaporkan penelitian proses produksi biodiesel dari minyak sawit mentah (CPO) dengn katalis CaCO3 yang dipijarkan. Reaksi dilakukan secara bertahap dengan melalui esterifikasi dengan katalis asam dan dilanjutkan dengan transesterifikasi menggunakan katalis CaO (CaCO3 yang dipijarkan). Reaksi dilakukan dengan rasio molar metanol:minyak sebesar 9:1, suhu reaksi 343 K, dan waktu reaksi selama 1.5 jam. Penggunaan katalis CaCO3 yang dipijarkan pada suhu 1173 K sebanyak 1.5% memberikan konversi terbaik sebesar 74.6%. Sedangkan Padil et al. (2010) melaporkan penggunaan katalis CaCO3 yang dipijarkan pada proses produksi biodiesel dari minyak kelapa. Reaksi dilakukan dengan rasio molar metanol:minyak sebesar 8:1, suhu reaksi 333 K, dan waktu reaksi selama 1.5 jam.
 Penggunaan katalis CaCO3 yang dipijarkan pada suhu 1173 K sebanyak 2% memberikan konversi terbaik sebesar 75.02%. Sumber katalis heterogen alami lainnya yang dikembangkan adalah zeolit alam dan alumina dari pengolahan limbah. Kartika dan Widyaningsih (2012) melaporkan penelitian transesterifikasi minyak jelantah dengan dengan katalis KOH yang disertasi proses esterifikasi menggunakan katalis zeolit alam teraktivasi asam khlorida-HCl (ZAH). Kondisi sempurna (100%) proses transesterifikasi minyak jelantah diperoleh secara bertahap dengan didahului proses esterifikasi menggunakan katalis KOH pada suhu 333 K, rasio molar metanol:minyak sebesar 6:1, kemudian dilanjutkan proses transesterifikasi menggunakan katalis ZAH sebesar 2% dengan waktu reaksi 60 menit. Transesterifikasi menggunakan katalis KOH tanpa proses esterifikasi hanya menghasilkan konversi biodiesel sebesar 53.29%. Wicakso (2011) melaporkan penelitian transesterifikasi minyak sawit mentah (crude palm oil - CPO) dengan katalis alumina dari pengolahan limbah PDAM. Hasil optimum diperoleh dengan kondisi suhu 333 K, rasio molar metanol:minyak sebesar 6:1, menggunakan katalis alumina 5% dan waktu reaksi 120 menit menghasilkan yield sebesar 70.5%. Proses transesterifikasi ini didahului dengan proses esterifikasi menggunakan katalis asam sulfat sebanyak 5% pada suhu 333 K selama 60 menit.

Katalis Heterogen Basa (skripsi dan tesis)


Pengembangan katalis heterogen basa dari berbagai oksida logam seperti magnesium metoksida, kalsium oksida, kalsium alkoksida, dan barium hidroksida dipelajari untuk mengatasi kekurangan dari katalis homogen. Potensi kalsium oksida (CaO) murni sebagai katalisator proses transesterifikasi telah dilaporkan oleh Kouzu et al. (2008). Penggunaan CaO sebagai katalis menghasilkan hasil tertinggi dibandingkan dengan bentuk senyawa kalsium lainnya seperti dalam bentuk kalsium hidroksida (Ca(OH)2) atau kalsium karbonat (CaCO3). Kawashima et al. (2009) melaporkan bahwa CaO aktif dan dapat menghasilkan biodiesel 90% dari transesterifikasi minyak rapeseed dengan metanol dalam waktu 3 jam. Pengaruh kelembaban pada aktivitas katalitik CaO dieksplorasi oleh Liu et al. (2008). Salah satu bahan limbah potensial mengandung CaO tinggi yang bisa dimanfaatkan sebagai katalis heterogen adalah abu kiln semen (AKS). Komposisi AKS menurut Lin et al. (2009) terdiri dari berbagai oksida terutama kalsium oksida (CaO), alumina (Al2O3), ferroksida (Fe2O3), dan silika (SiO2).
Menurut Cai et al. (2011), bahan ini terdiri dari partikel halus yang dikumpulkan oleh sistem pengumpulan abu dalam proses produksi semen. Ukuran partikel AKS berkisar antara 0.1 sampai 100 mikron, dan memiliki berat jenis antara 2.6 dan 2.8. Bahan ini mengandung campuran partikulat dari bahan yang dikalsinasi parsial dan bahan baku yang belum diproses, abu klinker, bahan bakar abu, sulfat, halida, dan bahan volatil lainnya. Lin et al. (2009) melaporkan bahwa bahan AKS ini merupakan katalis yang ekonomis dan ramah lingkungan yang dapat digunakan pada reaksi esterifikasi maupun transesterifikasi. Katalis AKS ini telah digunakan secara komersial untuk produksi biodiesel oleh perusahaan Catilin Inc. - Amerika (Cai et al. 2011). Katalis oksida campuran berbasis kalsium lainnya (CaMgO dan CaZnO) telah diteliti oleh Taufiq-Yap et al. (2011) untuk transesterifikasi minyak jarak pagar atau Jatropha curcas oil (JCO) dengan metanol. Katalis CaMgO dan CaZnO disiapkan dengan metode kopresipitasi larutan logam campuran nitrat yang sesuai dengan adanya garam karbonat yang larut pada pH 8-9. Konversi JCO oleh CaMgO dan CaZnO dipelajari dan dibandingkan dengan katalis kalsium oksida (CaO), magnesium oksida (MgO) dan seng oksida (ZnO). Katalis CaMgO 

Katalis Asam Super (skripsi dan tesis)


Asam-asam yang lebih kuat dari Ho =-12 dibandingkan dengan kekuatan asam 100% H2SO4 bisa disebut sebagai 'asam super'. Menurut Arata (1996), yang merupakan asam super umum adalah asam HF (asam Brønsted) dan BF3 (asam Lewis). Zirkonia sulfat dan zirkonia tungstat adalah contoh katalis heterogen asam super dan menunjukkan aktivitas katalitik yang tinggi untuk gugus asam aktif (Tanabe dan Yamaguchi 1994). Zirkonia telah menunjukkan aktivitas katalitik dan juga penyangga yang baik untuk katalis, hal ini disebabkan stabilitas termal yang tinggi, stabilitas di bawah kondisi reaksi oksidasi dan reduksi, dan karakter gugus hidroksil permukaan amfoter. Furuta et al. (2004) melaporkan penelitian menggunakan tungstated zirconia-alumina (WZA), sulfat timbal oksida (STO), dan sulfate zirconiaalumina (SZA) sebagai katalis heterogen asam super untuk transesterifikasi minyak kedelai dan asam esterifikasi n-oktanoat. Lebih dari 90% konversi selama transesterifikasi dengan WZA diperoleh pada suhu 523 K dengan minyak kedelai sebagai bahan baku. Selama transesterifikasi asam n-oktanoat, konversi dengan menggunakan katalis WZA, SZA dan STO masingmasing 94%, 99%, dan 100% pada suhu 448 K. Konversi menggunakan katalis WZA dan SZA meningkat menjadi 100% pada suhu 473 K (Furuta et al. 2004).
Berbagai jenis katalis heterogen seperti Amberlyst-15, Nafion-NR50, zirkonia sulfat (SZ), tungstated zirconia (WZ), dan ETS-10 (Na, K) digunakan untk membandingkan kinerjanya dengan katalis homogen yang konvensional (NaOH dan H2SO4) pada transesterifikasi triasetin dilaporkan oleh Lo'pez et al. (2005). Aktivitas katalis Amberlyst-15, Nafion-NR50, WZ, dan ETS-10 memberikan hasil yang cukup baik dan cukup layak sebagai alternatif pengganti NaOH atau H2SO4. Menurut Lo'pez et al. (2005), dari segi kecepatan reaksi total masih lebih rendah dibandingkan katalis homogen tersebut. Namun dari segi kecepatan reaksi per gugus basa aktif, katalis heterogen tersebut setara dengan aktivitas H2SO4. Untuk meningkatkan kecepatan reaksi, gugus basa dari katalis heterogen tersebut harus diaktivasi terlebih dahulu. Suhu kalsinasi adalah salah satu faktor yang berperan penting dalam aktivasi katalis heterogen asam. Menurut Kiss et al. (2010), suhu kalsinasi optimum adalah 973 K untuk jenis katalis zirkonia sulfat dalam esterifikasi asam lemak. Suhu kalsinasi optimum untuk SZ pada 773 K dan untuk TiZ pada 673-773 K. Pada suhu lebih tinggi dari suhu tersebut menyebabkan hilangnya belerang sehingga menurunkan luas permukaan katalis dan akhirnya kehilangan aktivitasnya. Zirkonia yang dimodifikasi, yaitu titania zirkonia (TiZ), SZ, dan WZ, telah digunakan sebagai katalis heterogen untuk reaksi esterifikasi dan transesterifikasi secara bersamaan oleh López et al. (2005). Kehadiran ion sulfat menstabilkan struktur zirkonia dan meningkatkan luas permukaan. Dari ketiga katalis tersebut, WZ menunjukkan aktivitas yang lebih baik pada SZ karena regenerasi katalis WZ lebih mudah setelah digunakan dalam reaktor unggun tetap. 128 Wahyudin, et al. Katalis zirkonia sulfat dibuat dengan menggunakan metode yang berbeda seperti presipitasi tanpa pelarut telah dilaporkan oleh Garcia et al. (2008). Hanya SZ yang dibuat dengan metode bebas pelarut yang memberikan konversi yang efisien (98.6% dengan metanol dan 92% dengan etanol) terhadap minyak kedelai untuk produksi biodiesel dalam waktu reaksi 1 jam pada suhu 393 K.
Menurut Garcia et al., hal ini terkait dengan banyaknya gugus asam yang aktif. Konversi rendah ketika menggunakan etanol dikaitkan dengan adanya air sebesar 0.44% dalam etanol dibandingkan dengan 0.08% air dalam metanol. Konversi dengan menggunakan etanol meningkat menjadi 96% saat reaksi dilakukan selama 6.5 jam. Lou et al. (2008) melaporkan zirkonia tersulfatasi dan asam niobik (Nb2O5.nH2O) digunakan sebagai katalisator untuk esterifikasi dan transesterifikasi minyak goreng bekas dengan kadar ALB tinggi (27.8% w/w) memberi hasil yield rendah 44% dan 16% secara berurutan pada kondisi 14 Jam waktu reaksi. Kiss et al. (2010) telah melaporkan bahwa katalis zirkonia sulfat adalah katalis yang paling menjanjikan di antara berbagai katalis heterogen asam (jenis zeolit lain, resin penukar ion) yang dicoba pada esterifikasi asam dodekanoat. Katalis dilaporkan stabil terhadap dekomposisi termal. Penonaktifan katalis tidak terjadi pada fasa organik dengan sejumlah kecil air. Aktivitas katalis menurun sampai 90% dari nilai awal dan tetap konstan setelahnya. Aktivitas katalis dapat dikembalikan ke kondisi awalnya setelah dikalsinasi ulang.

Resin dan Membran (skripsi dan tesis)


Resin pertukaran ion telah umum digunakan untuk reaksi esterifikasi dan transesterifikasi. Resin penukar ion memiliki matriks polimer cross-linked dimana kation aktif untuk reaksi esterifikasi terbentuk karena proton menempel pada gugus sulfonat (Tesser et al. 2010). Dengan diameter pori yang lebih tinggi dari resin ini memungkinkan masuknya asam lemak bebas (ALB) ke permukaan katalis yang menghasilkan reaksi esterifikasi yang lebih baik. Resin penukar kation (NKC-9, 001 × 7 dan D61) adalah resin yang dicoba oleh Feng et al. (2010) dan dilaporkan efektif untuk reaksi transesterifikasi dengan bahan baku minyak goreng limbah dengan nilai asam tinggi (13.7 mg KOH/g) dan dengan konversi lebih besar dari 90%. NKC9 memiliki kapasitas penyerapan air yang tinggi sehingga mendukung perannya secara efektif dalam reaksi transesterifikasi. Kondisi reaksi yang digunakan adalah rasio molar reaktan 6:1 (alkohol:minyak) dan sebanyak 24% berat katalis pada suhu 337 K selama 4 jam waktu reaksi. Katalis NKC-9 dapat digunakan kembali hingga 10 kali percobaan.
Aktivitas katalis dalam penggunaan selanjutnya tidak menurun, malah sebaliknya. Setelah 10 kali penggunaan, ada kehilangan sejumlah katalis selama proses pemisahan yang pada akhirnya menurunkan konversi asam lemak bebas (ALB) sehingga perlu ditambahkan resin baru. Kitakawa et al. (2007) mencoba menukar antara resin penukar anion-kation sebagai katalis heterogen untuk reaksi transesterifikasi triolein dalam reaktor unggun dengan sistem batch dan kontinyu. Menurut Kitakawa et al. bahwa resin anion lebih baik daripada resin kation dengan konversi yang tinggi sebesar 98.8%. Aktivitas katalitik menurun pada percobaan selanjutnya karena ion hidroksil dari resin banyak yang hilang. Metode regenerasi tiga langkah diadopsi untuk penggunaan kembali katalis, sehingga katalis dapat digunakan sampai empat kali proses dengan aktivitas katalis yang sama

Katalis CaO dari Cangkang Kepiting (skripsi dan tesis)


Pada umumnya, sintesis biodiesel dilakukan melalui reaksi transesterifikasi menggunakan katalis basa cair (NaOH atau KOH) dan enzim (lipase), dan melalui proses esterifikasi menggunakan katalis asam cair (H2SO4 atau H3PO4). Hasil konversi reaksi pembentukan biodiesel menggunakan katalis basa cair dapat mencapai 98%. Bila digunakan katalis asam cair dapat mencapai 99%, dan penggunaan enzim lipase dapat menghasilkan konversi sekitar 91% (Fanny dkk, 2012). Kalsium Oksida merupakan katalis heterogen jenis oksida logam yang sering digunakan untuk reaksi transesterifikasi. Oksida-oksida tersebut berasal dari logam transisi, logam alkali dan logam alkali tanah. Oksida logam-logam transisi cenderung bersifat asam, mahal, dan menghasilkan yield yang rendah. Berbeda dengan oksida logam alkali dan alkali tanah yang bersifat basa, murah, dan menghasilkan konversi yang tinggi (Fanny dkk., 2012).
 Kalsium Oksida biasanya dibuat oleh dekomposisi termal dari bahan seperti kapur, yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3; mineral kalsit ). Hal ini dapat tercapai melalui pemanasan bahan sampai suhu di atas 800°C, proses ini dinamakan Kalsinasi, untuk memisahkan CO2 dari senyawa. Ini dilakukan dengan memanaskan material di atas 800° C. Kalsium Oksida telah diteliti sebagai katalis basa yang kuat dimana untuk menghasilkan biodiesel, CaO sebagai katalis basa mempunyai banyak manfaat, misalnya aktivitas yang tinggi, kondisi reaksi yang rendah, masa katalis yang lama, serta biaya operasional katalis yang rendah (Tuti dkk, 2011). Katalis basa heterogen CaO dapat dibuat melalui proses kalsinasi CaCO3. Salah satu sumber CaCO3 yang mudah diperoleh disekitar kita adalah cangkang kepiting. Cangkang kepiting memiliki kandungan kitin 18,70-32,20%, Protein 15,60- 2,90%, dan mineral CaCO3 53,70-78,40% (Focher, 1992). Terlihat bahwa CaCO3 dengan mineral cangkang kepiting terbesar sebanyak 77 %. 

Katalis Basa (Heterogen) (skripsi dan tesis)


 Terdapat dua jenis katalis basa yang dapat digunakan dalam pembuatan biodiesel, yaitu katalis basa homogen dan katalis basa heterogen. Katalis basa homogen seperti NaOH (natrium hidroksida) dan KOH (kalium hidroksida) merupakan katalis yang paling umum digunakan dalam proses pembuatan biodiesel karena dapat digunakan pada temperatur dan tekanan operasi yang relatif rendah serta memiliki kemampuan katalisator yang tinggi. Akan tetapi, katalis basa homogen sangat sulit dipisahkan dari campuran reaksi sehingga tidak dapat digunakan kembali dan pada akhirnya akan ikut terbuang sebagai limbah yang dapat mencemarkan lingkungan (Sharma, 2010). Di sisi lain, katalis basa heterogen seperti CaO, meskipun memiliki kemampuan katalisator yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan katalis basa homogen, dapat menjadi alternatif yang baik dalam proses pembuatan biodiesel. Katalis basa heterogen dapat dengan mudah dipisahkan dari campuran reaksi sehingga dapat digunakan kembali, mengurangi biaya pengadaan dan pengoperasian peralatan pemisahan yang mahal serta meminimasi persoalan limbah yang dapat berdampak negatif terhadap lingkungan.
 Meskipun katalis basa memiliki kemampuan katalisator yang tinggi serta harganya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan katalis asam, untuk mendapatkan kinerja proses yang baik, penggunaan katalis basa dalam reaksi transesterifikasi memiliki beberapa persyaratan penting, diantaranya alkohol yang digunakan harus dalam keadaan anhidrous dengan kandungan air < 0.1 - 0.5 %-berat serta minyak yang digunakan harus memiliki kandungan asam lemak bebas < 0.5% (Lotero, dkk, 2005). Keberadaan air dalam reaksi transesterifikasi sangat penting untuk diperhatikan karena dengan adanya air, alkil ester yang terbentuk akan terhidrolisis menjadi asam lemak bebas. Lebih lanjut, kehadiran asam lemak bebas dalam sistem reaksi dapat menyebabkan reaksi penyabunan yang sangat mengganggu dalam proses pembuatan biodiesel.
R-COOH + KOH → R-COOK + H2O
 (Asam Lemak Bebas) (Alkali) (Sabun) (Air)
 Akibat reaksi samping ini, katalis basa harus terus ditambahkan karena sebagian katalis basa akan habis bereaksi membentuk produk samping berupa sabun. Kehadiran sabun dapat menyebabkan meningkatnya pembentukkan gel dan viskositas pada produk biodiesel serta menjadi penghambat dalam pemisahan produk biodisel dari campuran reaksi karena menyebabkan terjadinya pembentukan emulsi. Hal ini secara signifikan akan menurunkan nilai ekonomis dari proses pembuatan biodiesel dengan menggunakan katalis basa. Katalis heterogen dalam proses produksi biodiesel merujuk pada katalis berwujud padat. Penggunaan katalis heterogen didasarkan adanya kelemahan katalis homogen yang memerlukan proses pemurnian lebih lanjut. Terlebih sifatnya yang tidak ramah lingkungan. Melalui penggunaan katalis heterogen diharapkan diperoleh produk biodiesel murni. Keunggulan katalis heterogen dibandingkasn katalis homogen (Budiman dkk, 2014) di antaranya:
a. Tidak sensitif terhadap adanya FFA (asam lemak bebas).
b. Reaksi esterifikasi dan transesterifikasi dapat terjadi secara bersamaan.
 c. Tidak memerlukan tahap pencucian katalis. d. Katalis mudah dipisahkan dari produk utama maupun produk samping sehingga kontaminasi katalis terhadap produk rendah. e. Katalis dapat didaur ulang. f. Mengurangi adanya masalah korosi Sebagian besar industri kimia menggunakan katalis heterogen. Keuntungan pemakaian katalis heterogen (berupa padatan) adalah jenis katalisnya banyak, mudah dimodifikasi dan dapat diregenerasi pada suhu pemisahan serta dapat digunakan untuk mereaksikan senyawa yang peka terhadap suasana asam dan tidak merusak warna hasil reaksi. Persyaratan utama suatu katalis heterogen adalah permukaan yang aktif dan mampu mengadsorpsi reaktan. Kelebihan utama katalis heterogen adalah kemudahannya dipisahkan dari hasil reaksi (Berry dkk., 1980).

Katalis Asam (Homogen) (skripsi dan tesis)


 Alternatif lain yang dapat digunakan untuk pembuatan biodiesel adalah dengan menggunakan katalis asam. Selain berfungsi sebagai katalis pada reaksi transesterifikasi minyak tumbuhan menjadi biodiesel, katalis asam juga digunakan pada reaksi esterifikasi asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak menjadi biodiesel mengikuti reaksi berikut ini:
R-COOH + CH3OH → R-COOCH3 + H2O
 (Asam Lemak Bebas) (Metanol) (Biodiesel) (Air)
 Katalis asam umumnya digunakan dalam proses pretreatment terhadap bahan baku minyak tumbuhan yang memiliki kandungan asam lemak bebas yang tinggi namun sangat jarang digunakan dalam proses utama pembuatan biodiesel. Katalis asam homogen seperti asam sulfat, bersifat sangat korosif, sulit dipisahkan dari produk dan dapat ikut terbuang dalam pencucian sehingga tidak dapat digunakan kembali sekaligus dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan. Katalis asam heterogen seperti : Nafion, meskipun tidak sekorosif katalis asam homogen dan dapat dipisahkan untuk digunakan kembali, cenderung sangat mahal dan memiliki kemampuan katalisasi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan katalis basa (Agrawal, 2012).

Parameter Katalis (skripsi dan tesis)


Untuk menilai baik tidaknya suatu katalis, menurut Nurhayati (2008), ada beberapa parameter yang harus diperhatikan, antara lain sebagai berikut:
 1. Aktivitas, yaitu kemampuan katalis untuk mengkonversi reaktan menjadi produk yang diinginkan. 2. Selektivitas, yaitu kemampuan katalis mempercepat satu reaksi di antara beberapa reaksi yang terjadi sehingga produk yang diinginkan dapat diperoleh dengan produk sampingan seminimal mungkin.
3. Kestabilan, yaitu lamanya kkatalis memiloiki aktivitas dan selektivitas seperti pada kedaan semula. 4. Rendemen katalis / Yield, yaitu jumlah produk tertentu yang terbentuk untuk setiap satuan reaktan yang terkonsumsi.
5. Kemudahan diregenerasi, yaitu proses mengembalikan aktivitas dan selektivitas katalis seperti semula

Klasifikasi Katalis (skripsi dan tesis)


 Berdasarkan fasanya, katalis dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu katalis enzim, katalis homogen dan katalis heterogen (Nurhayati., 2008).
1. Katalis Enzim
 Enzim adalah molekul protein ukuran koloidal, merupakan katalis diantara homogen dan heterogen. Enzim merupakan driving force untuk reaksi biokimia, karakterisasinya adalah efisiensi dan selektivitas, sesuai dengan untuk keperluan industri (Widyawati., 2007).
 2. Katalis Asam (Homogen)
Katalis homogen berada pada fasa yang sama seperti reaktan dan produk. Beberapa contoh misalnya hidrolisis ester oleh asam (cair-cair), oksidasi SO2 oleh NO2 (uap-uap) dan dekomposisi potasium khlorat dengan MnO2 (padat-padat). Reaksi sangat spesifik dengan yield yang tinggi dari produk yang diinginkan. Kelemahan pada katalis homogen ini adalah hanya dapat digunakan pada skala laboratorium, sulit dilakukan secara komersial, operasi pada fase cair dibatasi pada kondisi suhu dan tekanan, sehingga peralatan lebih kompleks (Widyawati, 2007). Menurut Husin dkk (2011), pemisahan antara produk dengan katalis suit karena berada pada satu fasa, penggunaan katalis ini hanya sekali saja dan tidak dapat didaur ulang.
 3. Katalis Basa (Heterogen)
Katalis heterogen merupakan katalis yang berada dalam fasa yang berbeda dengan reaktan, biasanya katalis heterogen berupa padatan dan interaksi pada permukaan padat-gas atau padat-cair (Ulyani., 2008). Penggunaan katalis heterogen menguntungkan dengan beberapa alasan antara lain: selektivitas produk yang diinginkan dapat ditingkatkan dengan adanya pori yang terdapat pada katalis heterogen. Aktivitas intrinsik dari active site dapat dimodifikasi oleh struktur padat. Komposisi kimia pada permukaan dapat digunakan untuk meminimalisasi atau meningkatkan adsorpsi komponen tertentu. Katalis heterogen dapat dipisahkan dari produk dengan penyaringan dan dapat digunakan kembali dengan konstruksi peralatan sederhana (Widyawati, 2007)

Katalis (skripsi dan tesis)


Katalis ditemukan oleh J.J. Berzelius pada tahun 1836 sebagai komponen yang dapat meningkatkan laju reaksi kimia, namun tidak ikut bereaksi. Definisi katalisator adalah suatu substansi yang dapat meningkatkan kecepatan, sehingga reaksi kimia dapat mencapai kesetimbangan tanpa terlibat di dalam reaksi secara permanen. Namun pada akhir reaksi katalis tidak tergabung dengan senyawa produk reaksi. Entalpi reaksi dan faktor-faktor termodinamika lainnya merupakan fungsi sifat dasar dari reaktan dan produk, sehingga tidak dapat diubah dengan katalis. Adanya katalis dapat mempengaruhi faktor-faktor kinetika suatu reaksi seperti laju reaksi, energi aktivasi, sifat dasar keadaan transisi dan lain-lain (Widyawati, 2007). Katalis merupakan zat yang ditambahkan dalam sistem reaksi untuk mempercepat reaksi. Katalis dapat menyediakan situs aktif yang befungsi untuk mempertemukan reaktan dan menyumbangkan energi dalam bentuk panas sehingga molekul pereaktan mampu melewati energi aktivasi secara lebih mudah. Oleh karena fungsinya yang sangat penting, maka penggunaan katalis menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam berbagai industri. Kebutuhan akan katalis dalam berbagai proses industri cenderung mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena proses kimia yang menggunakan katalis cenderung lebih ekonomis. Dalam mempercepat laju reaksi, katalis bersifat spesifik, artinya suatu katalis dapat mempercepat pada reaksi tertentu saja tidak pada semua reaksi kimia.
 Contohnya, suatu katalis A mampu mempercepat laju reaksi pada reaksi hidrogenasi namun kurang baik jika digunakan pada reaksi oksidasi. Hal tersebut terikat erat dengan sifat fisika dan sifat kimia katalis. Dalam reaksi yang sama terdapat beberapa kemungkinan jenis material yang dapat digunakan dalam proses reaksi tersebut. 5 Misalnya dalam reaksi hidrogenasi dapat digunakan katalis Fe, Co, Ni (Le Page, 1987). Kemampuan suatu katalis dalam mempercepat laju reaksi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja katalis antara lain adalah sifat fisika dan kimia katalis; kondisi operasi seperti temperatur, tekanan, laju alir, waktu kontak; jenis umpan yang digunakan; jenis padatan pendukung yang digunakan. Katalis yang dipreparasi dengan cara yang berbeda akan menghasilkan aktivitas dan selektivitas yang berbeda (Rieke dkk, 1997). Kemampuan suatu katalis dalam suatu proses biasanya diukur dari aktivitas dan selektivitasnya. Aktivitas biasanya dinyatakan dalam rosentase konversi atau jumlah produk yang dihasilkan dari jumlah reaktan yang digunakan dalam waktu reaksi tertentu, sedangkan selektivitas adalah ukuran katalis dalam mempercepat reaksi pada pembentukan suatu produk tertentu, karena terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kinerja katalis dalam mempercepat laju reaksi, maka perlu dilakukan pemilihan katalis secara cermat sebelum menggunakan katalis dalam suatu proses tertentu. Pemilihan katalis yang tepat dalam suatu proses dapat menyebabkan proses yang diinginkan memiliki hasil yang optimal. Pemilihan katalis yang tidak tepat dapat menyebabkan proses menjadi kurang efisien sehingga akibatnya juga menjadi kurang ekonomis. Bahkan pemilihan katalis yang tidak tepat bisa juga menyebabkan adanya efek toksisitas yang berbahaya ataupun dapat mencemari lingkungan (Dewi, 2012). Dalam reaksi pembuatan biodiesel diperlukan katalis karena reaksi cenderung berjalan lambat. Katalis berfungsi menurunkan energi aktivasi reaksi sehingga reaksi dapat berlangsung lebih cepat. Katalis yang digunakan dalam pembuatan biodiesel dapat berupa katalis basa maupun katalis asam. Dengan katalis basa reaksi berlangsung pada suhu kamar sedangkan dengan katalis asam reaksi baru berjalan baik pada suhu sekitar 100°C. Bila tanpa katalis, reaksi membutuhkan suhu minimal 250°C (Lam, 2010). Katalis yang berada pada fasa yang sama (liquid) dengan reaktan disebut sebagai katalis homogen, sedangkan katalis yang berada pada fasa yang berbeda 6 dengan reaktannya (dapat berupa padatan, cairan yang tidak dapat bercampur ataupun gas) disebut sebagai katalis heterogen (Helwani, 2009)

Sejarah SEM (skripsi dan tesis)


 Konsep awal yang melibatkan teori pemindaian mikroskop elektron pertama kali diperkenalkan di Jerman (1935) oleh M. Knoll. Konsep standar dari SEM moderen dibangun oleh von Ardenne pada tahun 1938 yang menambahkan kumparan scan untuk mikroskop elektron transmisi. Desain SEM telah diubah cukup dengan Zworykin dkk. pada tahun 1942 saat bekerja untuk RCA Laboratorium di Amerika Serikat. Desain itu lagi kembali di rancang oleh CW Oatley pada tahun 1948 seorang profesor di Universitas Cambridge. Sejak itu ada banyak kontribusi penting lainnya yang telah sangat ditingkatkan dan dioptimalkan kerja dari scanning mikroskop elektron moderen. Cara kerja SEM yaitu dengan memindai sinar halus fokus elektron ke sampel. Elektron berinteraksi dengan komposisi molekul sampel. Energi dari elektron berinteraksi ke sampel secara langsung sebanding dengan jenis interaksi elektron yang dihasilkan dari sampel.
Serangkaian energi elektron yang terukur dapat dianalisis oleh mikroprosesor canggih yang menciptakan pseudo gambar tiga dimensi atau spektrum elemen unik dari sampel yang dianalisis (Prasetyo, 2011). Elektron memiliki resolusi yang lebih tinggi dari pada cahaya. Cahaya hanya mampu mencapai 200 nm sedangkan elektron bisa mencapai resolusi sampai 0,1 – 0,2 nm. Disamping itu dengan menggunakan elektron kita juga bisa mendapatkan beberapa jenis pantulan yang berguna untuk keperluan karakterisasi. Jika elektron mengenai suatu benda maka akan timbul dua jenis pantulan yaitu pantulan elastis dan pantulan non elastic. SEM merupakan alat yang dapat membentuk bayangan permukaan. Struktur permukaan suatu benda yang akan diuji dapat dipelajari dengan mikroskop elektron pancaran karena jauh lebih mudah untuk mempelajari struktur permukaan itu secara langsung. Pada dasarnya, SEM menggunakan sinyal yang dihasilkan elektron dan dipantulkan atau berkas sinar elektron sekunder. SEM memiliki kemampuan untuk menganalisis sampel tertentu dengan memanfaatkan salah satu metode yang disebutkan di atas. Sayangnya, setiap jenis analisis dianggap merupakan aksesori perangkat tambahan untuk SEM. 13 Aksesori yang paling umum dilengkapi dengan SEM adalah dispersif energi detektor x-ray atau EDX (kadang-kadang dirujuk sebagai EDS) Jenis detektor memungkinkan pengguna untuk menganalisis komposisi molekul sampel. deteksi pertama yang dikenal dengan sinar-x ditemukan secara tidak sengaja oleh fisikawan Jerman Wilhelm Conrad Roeentgen pada tahun 1895 saat mempelajari sinar katoda dalam tegangan tinggi, tabung debit gas (Hal itu diketahui bahwa ketika katoda dari sebuah sirkuit listrik dipanaskan dalam ruang hampa dengan beda potensial yang besar diterapkan antara katoda dan anoda, kemudian ada gelombang bergerak antara dua elektroda. Awalnya ini dianggap gelombang elektromagnetik, sehingga mereka disebut sinar katoda, JJ Thompson (1856-1940) menciptakan sinar katoda tabung-CRT dasar untuk monitor komputer dan televisi). Karena alasan tersebut, Wilhelm Conrad Roeentgen menciptakan istilah "x-radiasi". Panjang gelombang elektromagnetik sinar-x sekitar 01-100 angstrom (disingkat Å) adalah salah satu dari sepuluhmiliar (1/10000000000) meter (Prasetyo, 2011).

X-Ray Difraction (XRD) (skripsi dan tesis)


 Sinar X ditemukan pertama kali oleh Wilhelm Conrad Rontgen pada tahun 1895, di Universitas Wurtzburg, Jerman. Karena asalnya tidak diketahui waktu itu maka disebut sinar-X. Untuk penemuan ini Rontgen mendapat hadiah nobel pada tahun 1901, yang merupakan hadiah nobel pertama di bidang fisika. Sejak ditemukannya, sinar-X telah umum digunakan untuk tujuan pemeriksaan tidak merusak pada material maupun manusia. Disamping itu, sinar-X dapat juga digunakan untuk menghasilkan pola difraksi tertentu yang dapat digunakan dalam analisis kualitatif dan kuantitatif material. Pengujian dengan menggunakan sinarX disebut dengan pengujian XRD (X-Ray Diffraction). XRD digunakan untuk analisis komposisi fasa atau senyawa pada material dan juga karakterisasi kristal. Prinsip dasar XRD adalah mendifraksi cahaya yang melalui celah kristal. Difraksi cahaya oleh kisi-kisi atau kristal ini dapat terjadi apabila difraksi tersebut berasal dari radius yang memiliki panjang gelombang yang setara dengan jarak antar atom, yaitu sekitar 1 Angstrom. Radiasi yang digunakan berupa radiasi sinar-X, elektron, dan neutron (Anonim., 2008).

X-Ray Fluoresensi (XRF) (skripsi dan tesis)


Spektroskopi XRF adalah teknik analisis unsur yang membentuk suatu material dengan dasar interaksi sinar-X dengan material analit. Teknik ini banyak digunakan dalam analisa batuan karena membutuhkan jumlah sampel yang relatif kecil (sekitar 1 gram). Teknik ini dapat digunakan untuk mengukur unsur-unsur yang tertutama banyak terdapat dalam batuan atau mineral. Sampel yang digunakan biasanya berupa serbuk hasil penggilingan atau pengepresan menjadi bentuk film. Instrumen yang digunakan untuk melakukan pengukuran tersebut dinamakan X-Ray Fluorescence Spektrometer. Perlatan ini terdiri dari tabung pembangkit sinar-X yang mampu mengeluarkan elektron dari semua jenis unsur yang sedang diteliti. Sinar-X ini yang dihasilkan harus berenergi sangat tinggi, sehingga anoda target dalam tabung pembangkit harus berupa unsur Cr, Mo, W, atau Au (Eni, 2010). Prinsip analisis material dengan XRF yaitu apabila elektron dari suatu kulit atom bagian dalam dilepaskan, maka elektron yang terdapat pada bagian kulit luar akan berpindah pada kulit yang ditinggalkan tadi menghasilkan sinar-X 11 dengan panjang gelombang yang karakteristik bagi unsur tersebut. Seperti pada tabung pembangkit sinar-X, elektron dari kulit bagian dalam suatu atom pada sampel analit menghasilkan sinar-X dengan panjang gelombang karakteristik dari setiap atom di dalam sampel. Untuk setiap atom di dalam sampel, intensitas dari sinar-X karakteristik tersebut sebanding dengan jumlah (konsentrasi) atom di dalam sampel. Dengan demikian, jika kita dapat mengukur intensitas sinar–X karakteristik dari setiap unsur, kita dapat membandingkan intensitasnya dengan suatu standar yang diketahui konsentrasinya, sehingga konsentrasi unsur dalam sampel bisa ditentukan (Eni, 2010)

Surface Area Analyzer (SAA) (skripsi dan tesis)


 SAA merupakan salah satu alat utama dalam karakterisasi material. Alat ini khususnya berfungsi untuk menentukan luas permukaan material, distribusi pori dari material dan isotherm adsorpsi suatu gas pada suatu bahan. Alat ini prinsip kerjanya menggunakan mekanisme adsorpsi gas, umumnya nitrogen, argon dan helium, pada permukaan suatu bahan padat yang akan dikarakterisasi pada suhu konstan biasanya suhu didih dari gas tersebut. Alat tersebut pada dasarnya hanya mengukur jumlah gas yang dapat diserap oleh suatu permukaan padatan pada tekanan dan suhu tertentu. Secara sederhana, jika kita mengetahui berapa volume gas spesifik yang dapat diserap oleh suatu permukaan padatan pada suhu dan tekanan tertentu dan kita mengetahui secara teoritis luas permukaan dari satu molekul gas yang diserap, maka luas permukaan total padatan tersebut dapat dihitung (Nurwijayadi., 1998). Tentunya telah banyak teori dan model perhitungan yang dikembangkan para peneliti untuk mengubah data yang dihasilkan alat ini berupa jumlah gas yang diserap pada berbagai tekanan dan suhu tertentu (disebut juga isotherm) menjadi data luas permukaan, distribusi pori, volume pori dan lain sebagainya.
Misalnya saja untuk menghitung luas permukaan padatan dapat digunakan BET teori, Langmuir teori, metode t-plot, dan lain sebagainya. Yang paling banyak dipakai dari teori – teori tersebut adalah BET. - Metode BET (Brunaeur-Emmet-Teller) BET merupakan singkatan dari nama-nama ilmuwan yang menemukan teori luas permukaan pada suatu material. Mereka adalah Brunaeur, Emmet dan Teller. BET digunakan untuk karakterisasi permukaan suatu material yang meliputi surface area (SA, m2 /g), diameter pori (D) dan volume pori (Vpr, cc/g). Teori BET menjelaskan bahwa adsorbsi terjadi di atas lapisan adsorbat monolayer. Sehingga, isotherm adsorbs BET dapat diaplikasikan untuk adsorbs multilayer. 10 Keseluruhan proses adsorpsi dapat digambarkan sebagai berikut : a. Penempatan molekul pada permukaan padatan (adsorben) membentuk lapisan monolayer. b. Penempatan molekul pada lapisan monolayer membentuk lapisan multilayer. Metode ini menganggap bahwa molekul padatan yang paling atas berada pada kesetimbangan dinamis. Ini berarti jika permukaan hanya dilapisi oleh satu molekul saja, maka molekul-molekul gas ini berada dalam kesetimbangan dalam fase uap padatan. Jika terdapat dua atau lebih lapisan, maka lapisan teratas berada pada kesetimbangan dalam fase uap padatan. Bentuk isoterm tergantung pada macam gas adsorbat, sifat adsorben dan sturktur pori. Gejala yang diamati pada adsorpsi isoterm berupa adsorpsi lapisan molekul tunggal, adsorpsi lapisan molekul ganda dan kondensasi dalam kapiler

Karakteristik Katalis (skripsi dan tesis)


 Dalam pembuatan katalis, perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui struktur dan karakteristiknya. Pengujian katalis ini disebut dengan karakterisasi. Pemilihan metode karakterisasi merupakan hal yang amat penting untuk mengidentifikasi sifat-sifat katalis. Pemilihan metode karakterisasi katalis dapat ditinjau dari keperluan atau kepentingannya secara ilmiah dan teknis, biaya karakterisasi, dan kemudahan akses peralatan (Istadi, 2011). Kinerja katalis dipengaruhi oleh beberapa parameter yakni aktivitas, selektivitas, deaktivasi, aliran fluida dan stabilitas katalis. Kinerja katalis juga 8 dipengaruhi oleh karakteristik dari katalis itu sendiri. Karakter-karakter yang mempengaruhi kinerja katalis diantaranya pemilihan komponen aktif atau situs aktif, luas permukaan katalis, serta sifat kebasaan dan keasaman permukaan. Aktivitas dan selektivitas dicapai sebagai keadaan optimum dengan menentukan material dan metode preparasi yang sesuai (Nasikin dan Susanto, 2010).
 Pada katalis heterogen padat diyakini bahwa tidak seluruh permukaannya bereaksi. Hanya situs tertentu pada permukaan katalis yang berperan dalam reaksi, situs-situs tersebut disebut dengan situs aktif. Situs aktif dapat berupa atom tak berikatan yang dihasilkan dari ketidakseragaman permukaan atau atom dengan sifat kimia yang memungkinkan interaksi dengan atom atau molekul yang teradsorbsi reaktan. Permukaan katalis mencakup permukaan eksternal dan internal pori-pori. Untuk material yang sangat berpori, luas permukaan internal pori-pori jauh lebih tinggi dari pada luas permukaan eksternal. Distribusi ukuran pori katalis dipengaruhi oleh kondisi preparasi dan jumlah masukan komponen aktif. Biasanya terdapat distribusi ukuran pori yang luas pada katalis, akan tetapi, katalis juga dapat dirancang untuk memiliki distribusi ukuran pori yang sangat kecil. Pada katalis, situs-situs aktif tersebar di seluruh matriks berpori. Dalam kondisi temperatur dan tekanan yang sesuai, gas secara bertahap dapat terserap pada permukaan padat dan akhirnya menyebabkan cakupan menyeluruh (Burca, 2014). Secara garis besar, teknik karakterisasi katalis dapat dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan sifat-sifat yang akan diteliti, antara lain:
1. Sifat – sifat partikel, meliputi: luas permukaan (surface area), porositas atau distribusi ukuran pori (adsorpsi uap pada suhu rendah, Hg porosimetry, dan incipient wetness), densitas, ukuran partikel, sifat-sifat mekanis, dan difusifitas.
2. Sifat-sifat permukaan (surface), meliputi: struktur dan morfologi (SEM, TEM, XRD, XRF, UV-Vis), dispersi (chemisorption), dan keasaman (TPD). 9 3. Sifat-sifat bulk, meliputi: komposisi elemental (XRF, AAS), sifat-sifat senyawa atau struktur fasa (XRD, Raman, IR, DTA, TPR, TPO, TEM), struktur molekul (IR, Raman, UV-Vis, XAFS, NMR, dan EPR), serta reaktifitas bulk (XRD, UV-Vis, TGA, DTA, TPR, dan TPO) (Istadi, 2011).

Metoda Sintesis Katalis (skripsi dan tesis)


Terdapat bermacam-macam metode sintesis katalis. Pemilihan metode yang digunakan tergantung pada kebutuhan dan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain sifat kimia dari komponen katalis, prekusor, perbedaan komposisi, sifat fisik dan kondisi reaksi yang digunakan untuk menghilangkan kontaminan. Terdapat dua metode yang paling sering digunakan untuk sintesis katalis, yaitu impregnasi dan kopresipitasi (Kanade, dkk., 2005). Metode imregnasi adalah proses penjenuhan total sesuatu menggunakan zat tertentu. Banyak katalis yang disintesis dengan metode ini. Salah satu yang mendasari pemilihan metode impregnasi adalah bahwa didalam pengemban tidak terdapat anion atau kation yang dapat dipertukarkan (karena kalau ada anion atau kation yang dapat dipertukarkan metodenya disebut pertukaran ion). Metode tersebut bergantung pada kation logam yang ingin diembankan. Untuk ion kompleks yang sukar mengalami pertukaran kation, maka metode yang tepat adalah impregnasi, sedangkan untuk kation tersolvasi yang lebih mudah mengalami pertukaran kation, metode yang tepat adalah pertukaran ion. Dapat juga dipertimbangkan faktor biaya. Untuk larutan garam yang mahal dapat dilakukan impregnasi kering. Sedangkan larutan garam yang lebih murah dapat dilakukan impregnasi basah atau pertukaran ion. Metode Impregnasi ini merupakan teknik preparasi katalis yang paling sering digunakan daripada metode lainnya. Alasan utamanya adalah karena kemudahan dalam pengerjaannya. Tujuannya adalah untuk mengisi pori-pori 7 menggunakan larutan garam logam dengan konsentrasi tertentu.
Setelah diimpregnasi, langkah selanjutnya adalah pengeringan dan pemanasan pada suhu tinggi (kalsinasi), sehingga terjadi dekomposisi prekursor menjadi spesi aktif. Impregnasi dibedakan menjadi dua, yaitu impregnasi basah dan impregnasi kering. Perbedaan impregnasi kering dan basah didasarkan pada perbandingan volume larutan prekursor dengan volume pori pengemban. Untuk impregnasi kering, volume larutan berkisar 1-1,2 kali dari volume pori pengemban. Karena diharapkan nantinya jumlah antara larutan prekursor dengan pori yang tersedia pada pengemban adalah sama. Sedangkan, untuk impregnasi basah, volume larutan prekursor lebih dari 1,5 kali dari volume pori pengemban. Oleh karenanya, untuk impregnasi kering, diawal perlu diketahui volume pori pengemban untuk menentukan volume larutan prekursor yang sesuai. Kopresipitasi menurut kamus oxford adalah proses yang menyebabkan suatu zat dari bentuk cairan menjadi berbentuk padat. Pada metode ini komponenkomponen prekursor katalis dicampurkan kemudian diendapkan bersama-sama pada pH tertentu dengan penambahan bahan pengendap. Pengendapan ini dikarenakan oleh pengaruh ion senama yang ditambahkan pada larutan. Hal ini tentu saja membuat zat yang kelarutannya kecil untuk mengendap terlebih dahulu. Tujuan utama kopresipitasi adalah untuk menghasilkan campuran yang merata antar komponen katalis dan pembentukan partikel yang sangat kecil untuk menyediakan luas permukaan yang luas (Kanade, dkk., 2005)

Katalis CaO dari cangkang kepiting (skripsi dan tesis)


 CaO merupakan katalis heterogen jenis oksida logam yang sering digunakan untuk reaksi transesterifikasi. Oksida-oksida tersebut berasal dari logam transisi, logam alkali dan logam alkali tanah. Oksida logam-logam transisi cenderung bersifat asam, mahal, dan menghasilkan yield yang rendah. Berbeda dengan oksida logam alkali dan alkali tanah yang bersifat basa, murah, dan menghasilkan konversi yang tinggi (Fanny dkk., 2012). Kalsium Oksida (CaO) biasanya dibuat oleh dekomposisi termal dari bahan seperti kapur, yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3; mineral kalsit ). Hal ini tercapai dengan memanaskan bahan sampai suhu diatas 800°C, proses ini dinamakan calcination, untuk memisahkan CO2 dari senyawa. Ini dilakukan dengan memanaskan material di atas 800 °C. CaO telah diteliti sebagai katalis basa yang kuat dimana untuk menghasilkan biodiesel menggunakan CaO sebagai katalis basa mempunyai banyak manfaat, misalnya aktivitas yang tinggi, kondisi reaksi yang rendah, masa katalis yang lama, serta biaya katalis yang rendah (Tuti dkk., 2011) Katalis basa heterogen CaO dapat dibuat melalui proses kalsinasi CaCO3. Salah satu sumber CaCO3 yang mudah diperoleh disekitar kita adalah cangkang kepiting. Cangkang kepiting memiliki kandungan kitin 13-15 %, Protein 30-35 %, dan mineral 50 %. Mineral yang paling banyak berupa CaCO3 77 % dan sebagian kecisl Mg, silika, anhidrat fosfik dan lain-lain sebesar 23 % (Suhardi, 1993)

Katalis Basa (skripsi dan tesis)


Terdapat dua jenis katalis basa yang dapat digunakan dalam pembuatan biodiesel, yaitu katalis basa homogen dan katalis basa heterogen. Katalis basa homogen seperti NaOH (natrium hidroksida) dan KOH (kalium hidroksida) merupakan katalis yang paling umum digunakan dalam proses pembuatan biodiesel karena dapat digunakan pada temperatur dan tekanan operasi yang relatif rendah serta memiliki kemampuan katalisator yang tinggi. Akan tetapi, katalis basa homogen sangat sulit dipisahkan dari campuran reaksi sehingga tidak 4 dapat digunakan kembali dan pada akhirnya akan ikut terbuang sebagai limbah yang dapat mencemarkan lingkungan (Sharma, 2010). Di sisi lain, katalis basa heterogen seperti CaO, meskipun memiliki kemampuan katalisator yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan katalis basa homogen, dapat menjadi alternatif yang baik dalam proses pembuatan biodiesel. Katalis basa heterogen dapat dengan mudah dipisahkan dari campuran reaksi sehingga dapat digunakan kembali, mengurangi biaya pengadaan dan pengoperasian peralatan pemisahan yang mahal serta meminimasi persoalan limbah yang dapat berdampak negatif terhadap lingkungan. Menurut penelitian, CaO merupakan katalis yang paling aktif dibandingkan Ca(OH)2 dan CaCO3 (Arzamedi dkk., 2008). CaO memiliki tingkat alkalinitas yang tinggi, kelarutan yang rendah, harga yang relatif lebih murah dibandingkan KOH ataupun NaOH, serta mudah proses pemisahannya dari produk (Reddy dkk., 2006). Beberapa material alam yang dianggap sebagai limbah ternyata mengandung unsur Ca yang cukup tinggi sebagai contohnya cangkang moluska dan tulang. Limbah inilah yang kemudian dimanfaatkan menjadi katalis untuk meningkatkan nilai kemanfaatannya dan untuk mengurangi jumlah limbah di alam (Budiman dkk., 2014). Meskipun katalis basa memiliki kemampuan katalisator yang tinggi serta harganya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan katalis asam, untuk mendapatkan performa proses yang baik, penggunaan katalis basa dalam reaksi transesterifikasi memiliki beberapa persyaratan penting, diantaranya alkohol yang digunakan harus dalam keadaan anhidrous dengan kandungan air < 0.1 - 0.5 %- berat serta minyak yang digunakan harus memiliki kandungan asam lemak bebas < 0.5% (Lotero dkk., 2005). Keberadaan air dalam reaksi transesterifikasi sangat penting untuk diperhatikan karena dengan adanya air, alkil ester yang terbentuk akan terhidrolisis menjadi asam lemak bebas. Lebih lanjut, kehadiran asam lemak bebas dalam sistem reaksi dapat menyebabkan reaksi penyabunan yang sangat menggangu dalam proses pembuatan biodiesel.
R-COOH + KOH → R-COOK + H2O.......................................... (2)
 (Asam Lemak Bebas) (Alkali) (Sabun) (Air)
 Akibat reaksi samping ini, katalis basa harus terus ditambahkan karena sebagian katalis basa akan habis bereaksi membentuk produk samping berupa sabun. Kehadiran sabun dapat menyebabkan meningkatnya pembentukkan gel dan viskositas pada produk biodiesel serta menjadi penghambat dalam pemisahan produk biodisel dari campuran reaksi karena menyebabkan terjadinya pembentukan emulsi. Hal ini secara signifikan akan menurunkan keekonomisan proses pembuatan biodiesel dengan menggunakan katalis basa. Berikut ini Bahan untuk mendapatkan Kalsium Oksida sebagai Katalis

Katalis Asam (skripsi dan tesis)


Alternatif lain yang dapat digunakan untuk pembuatan biodiesel adalah dengan menggunakan katalis asam. Selain dapat mengkatalisis reaksi transesterifikasi minyak tumbuhan menjadi biodiesel, katalis asam juga dapat mengkatalisis reaksi esterifikasi asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak menjadi biodiesel mengikuti reaksi berikut ini:
 R-COOH + CH3OH → R-COOCH3 + H2O.............. (1)
 (Asam Lemak Bebas) (Metanol) (Biodiesel) (Air)
 Katalis asam umumnya digunakan dalam proses pretreatment terhadapat bahan baku minyak tumbuhan yang memiliki kandungan asam lemak bebas yang tinggi namun sangat jarang digunakan dalam proses utama pembuatan biodiesel. Katalis asam homogen seperti asam sulfat, bersifat sangat korosif, sulit dipisahkan dari produk dan dapat ikut terbuang dalam pencucian sehingga tidak dapat digunakan kembali sekaligus dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan. Katalis asam heterogen seperti Nafion, meskipun tidak sekorosif katalis asam homogen dan dapat dipisahkan untuk digunakan kembali, cenderung sangat mahal dan memiliki kemampuan katalisasi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan katalis basa (Agrawal, 2012)