Tampilkan postingan dengan label Jogja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jogja. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 September 2015

Pengertian Komunikasi Teraupetik (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Yogyakarta, Jogja, Komunikasi, Judul Komunikasi, Komunikasi Teraupetik)

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Uripni dkk., 2003). Komunikasi merupakan proses yang sangat penting dan khusus bagi kehidupan manusia. Dalam profesi kebidanan  komunikasi merupakan hal yang penting dalam mengimplementasikan asuhan kebidanan. Bidan yang memiliki kemampuan secara terapeutik tidak saja akan mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan klien tetapi juga mencegah terjadinya masalah, memberikan kepuasan professional dalam pelayanan kebidanan  dan meningkatkan citra profesi kebidanan  serta citra rumah sakit, tetapi yang paling adalah mengamalkan ilmu untuk menolong sesama manusia.Menurut As Hornby (1974) terapeutik merupakan kata sifat yang dihubungkan dengan seni dari penyembuhan. Mampu terapeutik berarti seseorang mampu melakukan atau mengkomunikasikan perkataan, perbuatan, atau ekspresi yang memfasilitasi proses penyembuhan. Hal ini mengarahkan bahwa kemampuan menerapkan tehnik komunikasi terapeutik memerlukan latihan dan kepekaan serta ketajaman perasaan, karena komunikasi terjadi tidak dalam kemampuan tetapi dalam dimensi nilai, waktu dan ruang yang turut mempengaruhi keberhasilan komunikasi yang terlihat melalui dampak terapeutiknya bagi klien dan juga kepuasan bagi Bidan. Komunikasi juga akan memberikan dampak terapeutik bila dalam penggunaanya diperhatikan sikap dan tehnik komunikasi terapeutik. Hal lain yang cukup penting diperhatikan adalah dimensi hubungan. Dimensi ini merupakan faktor penunjang yang sangat berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan berhubungan terapeutik. Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya. 


Manifestasi Komunikasi Teraupetik (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Jogja, Yogyakarta, Komunikasi, Judul Komunikasi, Komunikasi Teraupetik)

Menurut Potter dan Perry (1993), Swansburg (1990), Szilagyi (1984), dan Tappen (1995) ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulis dan non-verbal yang dimanifestasikan secara terapeutik.
a.       Komunikasi Verbal
Jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan kebidanan di rumah sakit adalah pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan dengan tatap muka. Komunikasi verbal biasanya lebih akurat dan tepat waktu. Kata-kata adalah alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide atau perasaan, membangkitkan respon emosional, atau menguraikan obyek, observasi dan ingatan. Sering juga untuk menyampaikan arti yang tersembunyi, dan menguji minat seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu memungkinkan tiap individu untuk merespon secara langsung.
Komunikasi Verbal yang efektif harus:

a)      Jelas dan ringkas
Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung. Makin sedikit kata-kata yang digunakan makin kecil kemungkinan terjadinya kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan berbicara secara lambat dan mengucapkannya dengan jelas. Penggunaan contoh bisa membuat penjelasan lebih mudah untuk dipahami. Ulang bagian yang penting dari pesan yang disampaikan. Penerimaan pesan perlu mengetahui apa, mengapa, bagaimana, kapan, siapa dan dimana. Ringkas dengan menggunakan kata-kata yang mengekspresikan ide secara sederhana.
Contoh: “Katakan pada saya dimana rasa nyeri anda” lebih baik daripada “saya ingin anda menguraikan kepada saya bagian yang anda rasakan tidak enak.”
b)      Perbendaharaan Kata
Komunikasi tidak akan berhasil, jika pengirim pesan tidak mampu menerjemahkan kata dan ucapan. Banyak istilah teknis yang digunakan dalam kebidanan dan kedokteran, dan jika ini digunakan oleh Bidan, klien dapat menjadi bingung dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau mempelajari informasi penting. Ucapkan pesan dengan istilah yang dimengerti klien. Daripada mengatakan “Duduk, sementara saya akan mengauskultasi paru-paru anda ” akan lebih baik jika dikatakan “Duduklah sementara saya mendengarkan paru-paru anda”.
c)Arti denotatif dan konotatif
Arti denotatif memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau ide yang terdapat dalam suatu kata. Kata serius dipahami klien sebagai suatu kondisi mendekati kematian, tetapi Bidan akan menggunakan kata kritis untuk menjelaskan keadaan yang mendekati kematian. Ketika berkomunikasi dengan klien, Bidan harus hati-hati memilih kata-kata sehingga tidak mudah untuk disalah tafsirkan, terutama sangat penting ketika menjelaskan tujuan terapi, dan kondisi klien.
d)     Selaan dan kesempatan berbicara
Kecepatan dan tempo bicara yang tepat turut menentukan keberhasilan komunikasi verbal. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa Bidan sedang menyembunyikan sesuatu terhadap klien. Bidan sebaiknya tidak berbicara dengan cepat sehingga kata-kata tidak jelas. Selaan perlu digunakan untuk menekankan pada hal tertentu, memberi waktu kepada pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat dilakukan dengan memikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya, menyimak isyarat nonverbal dari pendengar yang mungkin menunjukkan. Bidan juga bisa menanyakan kepada pendengar apakah ia berbicara terlalu lambat atau terlalu cepat dan perlu untuk diulang.
e)      Waktu dan relevansi
Waktu yang tepat sangat penting untuk menangkap pesan. Bila klien sedang menangis kesakitan, tidak waktunya untuk menjelaskan resiko operasi. Kendatipun pesan diucapkan secara jelas dan singkat, tetapi waktu tidak tepat dapat menghalangi penerimaan pesan secara akurat. Oleh karena itu, Bidan harus peka terhadap ketepatan waktu untuk berkomunikasi. Begitu pula komunikasi verbal akan lebih bermakna jika pesan yang disampaikan berkaitan dengan minat dan kebutuhan klien.
f)       Humor
Dugan (1989) mengatakan bahwa tertawa membantu mengurangi ketegangan dan rasa sakit yang disebabkan oleh stres, dan meningkatkan keberhasilan Bidan dalam memberikan dukungan emosional terhadap klien. Sullivan dan Deane (1988) melaporkan bahwa humor merangsang produksi catecholamines dan hormon yang menimbulkan perasaan sehat, meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas, memfasilitasi relaksasi pernapasan dan menggunakan humor untuk menutupi rasa takut dan tidak enak atau menutupi ketidak mampuannya untuk berkomunikasi dengan klien.

b.      Komunikasi Non Verbal
Komunikasi non-verbal adalah pemindahan pesan tanpa menggunakan kata-kata. Merupakan cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Bidan perlu menyadari pesan verbal dan non-verbal yang disampaikan klien mulai dari saat pengkajian sampai evaluasi asuhan kebidanan, karena isyarat non-verbal menambah arti terhadap pesan verbal. Bidan yang mendeteksi suatu kondisi dan menentukan kebutuhan asuhan kebidanan.
Komunikasi non-verbal teramati pada :
a.       Metakomunikasi
Komunikasi tidak hanya tergantung pada pesan tetapi juga pada hubungan antara pembicara dengan lawan bicaranya. Metakomunikasi adalah suatu komentar terhadap isi pembicaraan dan sifat hubungan antara yang berbicara, yaitu pesan di dalam pesan yang menyampaikan sikap dan perasaan pengirim terhadap pendengar. Contoh: tersenyum ketika sedang marah.
b.      Penampilan Personal
Penampilan seseorang merupakan salah satu hal pertama yang diperhatikan selama komunikasi interpersonal. Kesan pertama timbul dalam 20 detik sampai 4 menit pertama. Delapan puluh empat persen dari kesan terhadap seserang berdasarkan penampilannya (Lalli Ascosi, 1990 dalam Potter dan Perry, 1993). Bentuk fisik, cara berpakaian dan berhias menunjukkan kepribadian, status sosial, pekerjaan, agama, budaya dan konsep diri. Bidan yang memperhatikan penampilan dirinya dapat menimbulkan citra diri dan profesional yang positif. Penampilan fisik Bidan mempengaruhi persepsi klien terhadap pelayanan/asuhan kebidanan  yang diterima, karena tiap klien mempunyai citra bagaimana seharusnya penampilan seorang Bidan. Walaupun penampilan tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan Bidan, tetapi mungkin akan lebih sulit bagi Bidan untuk membina rasa percaya terhadap klien jika Bidan tidak memenuhi citra klien.
c.       Intonasi (Nada Suara)
Nada suara pembicara mempunyai dampak yang besar terhadap arti pesan yang dikirimkan, karena emosi seseorang dapat secara langsung mempengaruhi nada suaranya..Bidan harus menyadari emosinya ketika sedang berinteraksi dengan klien, karena maksud untuk menyamakan rasa tertarik yang tulus terhadap klien dapat terhalangi oleh nada suara Bidan.
d.      Ekspresi wajah
Hasil suatu penelitian menunjukkan enam keadaan emosi utama yang tampak melalui ekspresi wajah: terkejut, takut, marah, jijik, bahagia dan sedih. Ekspresi wajah sering digunakan sebagai dasar penting dalam menentukan pendapat interpesonal. Kontak mata sangat penting dalam komunikasi interpersonal. Orang yang mempertahankan kontak mata selama pembicaraan diekspresikan sebagai orang yang dapat dipercaya, dan memungkinkan untuk menjadi pengamat yang baik. Bidan sebaiknya tidak memandang ke bawah ketika sedang berbicara dengan klien, oleh karena itu ketika berbicara sebaiknya duduk sehingga Bidan tidak tampak dominan jika kontak mata dengan klien dilakukan dalam keadaan sejajar.
e.       Sikap tubuh dan langkah
Sikap tubuh dan langkah menggambarkan sikap, emosi, konsep diri dan keadaan fisik. Bidan dapat mengumpulkan informasi yang bermanfaat dengan mengamati sikap tubuh dan langkah klien. Langkah dapat dipengaruhi oleh faktor fisik seperti rasa sakit, obat, atau fraktur.
f.       Sentuhan
Kasih sayang, dukungan emosional, dan perhatian disampaikan melalui sentuhan. Sentuhan merupakan bagian yang penting dalam hubungan Bidan-klien, namun harus memperhatikan norma sosial. Ketika memberikan asuhan kebidanan, Bidan menyentuh klien, seperti ketika memandikan, melakukan pemeriksaan fisik, atau membantu memakaikan pakaian. Perlu disadari bahwa keadaan sakit membuat klien tergantung kepada Bidan untuk melakukan kontak interpersonal sehingga sulit untuk menghindarkan sentuhan. Bradley & Edinburg (1982) dan Wilson & Kneisl (1992) menyatakan bahwa walaupun sentuhan banyak bermanfaat ketika membantu klien, tetapi perlu diperhatikan apakah penggunaan sentuhan dapat dimengerti dan diterima oleh klien, sehingga harus dilakukan dengan kepekaan dan hati-hati.
c.       Komunikasi Tertulis
Komunikasi tertulis merupakan salah satu bentuk komunikasi yang sering digunakan dalam bisnis, seperti komunikasi melalui surat menyurat, pembuatan memo, laporan, iklan disurat kabar dan lain-lain.
Prinsip-prinsip komunikasi tertulis terdiri dari :
1.      Lengkap
2.      Ringkas
3.      Pertimbangan
4.      Konkrit
5.      Jelas
6.      Sopan
7.      Benar
Fungsi komunikasi tertulis adalah :
1.      Sebagai tanda bukti tertulis yang otentik, misalnya : persetujuan operasi.
2.      Alat pengingat/berpikir bilamana diperlukan, misalnya surat yang telah diarsipkan.
3.      Dokumentasi  historis, misalnya surat dalam arsip lama yang digali kembali untuk mengetahui perkembangan masa lampau.
4.      Jaminan keamanan, misalnya surat keterangan jalan.
5.      Pedoman atau dasar bertindak, misalnya surat keputusan, surat perintah, surat pengangkatan.
Keuntungan komunikasi tertulis adalah :
1.      Adanya dokumen tertulis
2.      Sebagai bukti penerimaan dan pengiriman
3.      Dapat menyampaikan ide yang rumit
4.      Memberikan analisa, evaluasi, dan ringkasan
5.      Menyebarkan informasi kepada khalayak ramai
6.      Dapat menegaskan, menafsirkan dan menjelaskan komunikasi lisan
7.      Membentuk dasar kontrak atau perjanjian
8.      Untuk penelitian dan bukti di pengadilan
Kerugian komunikasi tertulis adalah :
1.      Memakan waktu lama untuk membuatnya
2.      Memakan biaya yang mahal
3.      Komunikasi tertulis cenderung lebih formal
4.      Dapat menimbulkan masalah karena salah penafsiran
5.      Susah untuk mendapatkan umpan balik segera
6.      Bentuk dan isi surat tidak dapat di ubah bila telah dikirimkan
Bila penulisan kurang baik maka akan membingungkan sipembaca

Faktor Pada Komunikasi Interpersonal

Faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal (Uripni dkk, 2003) adalah: 
a)      Perkembangan
Bidan harus mengerti pengaruh perkembangan agar bahasa dan proses berfikir yang mempengaruhi cara dan sikap berfikir seseorang dalam berkomunikasi
 b)      Persepsi
Persepsi adalah pandangan pribadi seseorang terhadap suatu kejadian atau peristiwa. Persepsi dibentuk oleh harapan dan pengalaman. Perbedaan persepsi bisa menghambat komunikasi.
c)      Nilai
Nilai adalah standar yang mempengaruhi perilaku sehingga penting bagi bidan untuk menyadari nilai seseorang.
d)     Latar belakang sosial budaya 
Bahasa dan gaya komunikasi akan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya.
e)      Emosi
Emosi merupakan perasaan subjektif terhadap suatu kejadian. Emosi seperti marah, sedih, senang akan dapat mempengaruhi bidan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Bidan perlu mengkaji emosi klien dan keluarganya sehingga mampu memberi asuhan kebidanan dengan tepat. Selain itu, bidan juga perlu mengevaluasi emosi yang ada pada dirinya agar dalam melakukan asuhan kebidanan tidak terpengaruh oleh emosi bawah sadarnya.
f)       Jenis Kelamin
Setiap jenis kelamin mempunyai gaya komunikasi yang berbeda. Wanita dan laki-laki mempunyai perbedaan gaya komunikasi. Dari usia tiga tahun, wanita bermain dengan teman baiknya atau dalam grup kecil, menggunakan bahasa untuk mencari kejelasan dan meminimalkan perbedaan, serta membangun dan mendukung keintiman. Laki-laki di lain pihak, menggunakan bahasa untuk mendapatkan kemandirian aktivitas dalam grup yang lebih besar, dan jika ingin berteman, mereka melakukannya dengan bermain.
g)      Pengetahuan
Tingkat pengetahuan mempengaruhi komunikasi. Seseorang yang tingkat pengetahuannya rendah akan sulit merespon pertanyaan yang mengandung bahasa verbal dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Bidan perlu mengetahui tingkat pengetahuan klien sehingga dapat berinteraksi dengan baik dean akhirnya dapat memberi asuhan kebidanan yang tepat kepada klien.
h)   Peran dan Hubungan
      Gaya komunikasi sesuai dengan peran dan hubungan antar orang yang berkomunikasi.
i)    Lingkungan
      Lingkungan interaksi akan mempengaruhi komunikasi yang efektif. Suasana yang bising, tidak ada privasi yang tepat, akan menimbulkan kerancuan, ketegangan, dan ketidaknyamanan. Begitu juga dengan lingkungan fisik, tingkah laku manusia berbeda dari satu tempat ke tempat lain.
j)        Jarak
Jarak dapat mempengaruhi komunikasi. Jarak tertentu akan memberi rasa aman dan kontrol.
k)      Citra Diri
Manusia mempunyai gambaran tertentu mengenai dirinya, status sosial, kelebihan dan kekurangannya. Citra diri terungkap dalam komunikasi.
l)        Kondisi Fisik
Kondisi fisik mempunyai pengaruh terhadap komunikasi. Artinya indra pembicaraan mempunyai andil terhadap kelancaran dalam berkomunikasi.

Jenis-Jenis Komunikasi (Jogja, Judul Komunikasi, Komunikasi, Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Yogyakarta)

Secara konteks, komunikasi dapat dibagi menjadi (Liliweri, 2007):
a.     Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi yang berlangsung sebagai komunikasi antarpribadi (inter-personal communication) yakni komunikasi yang dilakukan oleh 2 atau 3 orang dengan jarak fisik di antara mereka yang sangat dekat, bertatapan muka atau bermedia dengan sifat umpan balik yang berlangsung cepat, adaptasi pesan bersifat khusus, serta memiliki tujuan/maksud komunikasi tidak berstruktur.
b.     Komunikasi Kelompok
Komunikasi dalam konteks kelompok merupakan komunikasi yang terjadi di antara sejumlah orang (kalau kelompok kecil berjumlah 4-20 orang, kelompok besar 20-50 orang), umpan balik pesan berlangsung cepat, adaptasi pesan bersifat khusus, tujuan/maksud komunikasi tidak berstruktur.
c.     Komunikasi Organisasi
Komunikasi kesehatan dapat pula beroperasi dalam konteks organisasi baik organisasi kesehatan seperti Puskesmas Pembantu, Puskesmas, Klinik-klinik, Rumah Sakit, atau organisasi yang berorientasi profesi kesehatan, misalnya IDI, IBI, bahkan organisasi yang berorientasi pada layanan dan bisnis dalam bidang kesehatan (perusahaan farmasi sampai ke perusahaan produksi alat-alat kesehatan). Melalui organisasi tersebut beragam informasi tentang kesehatan dapat disebarluaskan kepada individu, komunikasi atau kelompok-kelompok sasaran.
d.    Komunikasi Publik
Aktivitas komunikasi juga beroperasi dalam konteks komunikasi public. Kini informasi kesehatan dapat diperoleh malalui aktivitas komunikasi public. Sebagai contoh, mahasiswa FKM dapat menyebarluaskan informasi (pengetahuan, pencegahan) yang bersumber dari isu “demam berdarah” atau “PMS” di kota Kupang melalui forum-forum yang telah disiapkan secara berstruktur. Melalui kegiatan lokakarya, seminar, simponis, pendidikan dan pelatihan yang berskala praktis hingga ke penentuan kebijakan sampai informasi keilmuan dapat dilakukan oleh mahasiswa yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan, LSM, Lembaga Agama, Perusahaan Obat, dan lain-lain.
e.     Komunikasi Massa
Harus diakui bahwa kini nyaris tak ada aktivitas manusia termasuk penyebarluasan informasi kesehatan yang tidak ditopang oleh jasa media massa. Perhatikan bagaimana para pengusaha obat, makanan dan minuman berlomba-lomba memanfaatkan media massa seperti radio, televise, surat kabar, majalah, folder, pamphlet, leaflet untuk menyebarluaskan informasi tentang kesehatan.

Penolong Persalinan (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Jogja, Kedokteran, Judul Kedokteran, Keperawatan, Judul Keperawatan, kesehatan, Judul Kesehatan)

a.      Bidan
Istilah midwife dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan menjadi kata bidan dalam bahasa Indonesia berarti mendampingi perempuan. Istilah ini sudah ada sejak jaman dahulu kala dan beberapa tulisan tentang midwife telah terdapat dalam Perjanjian Lama. Bidan dijaman moderen pertama harus merupakan perawat berijasah kemudian melanjutkan pendidikan, mendapatkan pengalaman dan melakukan pemeriksaan dalam asuhan keperawatan bagi wanita yang hamil, bersalin serta postpartum dan juga bagi bayinya. Kemudian bidan harus memiliki kualifikasi untuk mengerjakan semua asuhan untuk mengerjakan semua asuhan kehamilan yang normal (sesudah dokter ahli obstetric menyingkirkan semua kelainan yang mungkin atau potensial terjadi), mengawasi persalinan serta melangsungkan proses pelahiran yang normal dan merawat ibu yang postpartum serta bayi baru lahir normal. Pada beberapa klinik kebidanan, keseluruh asuhan keperawatan tersebut dilaksanakan oleh para bidan; pada beberapa klinik lainnya dan juga sebagian besar rumah sakit, asuhan keperawatan dilakukan dibawah pengawasan dokter ahli obstetric. Namun demikian bidan harus mendampingi ‘ibu’ khususnya selama proses kelahiran berlangsung.
Bidan bekerja di rumah sakit, klinik antennal, bangsal perawatan antenatal serta kamar bersalin, kamar bayi, dan bangsal perawat serta klinik postnatal. Mereka juga bekerja dalam komunitas sebagian bidan  kunjungan rumah (khususnya kalau ibu dan bayinya dipulangkan secara dini dari rumah sakit), pada puskesmas serta klinik keluarga berencana. Mereka juga terlibat dalam penyuluhan antenatal, kursus-kursus persiapan persalinan dan kursus-kursus untuk mengejarkan cara-cara menjadi orang tua. Para bidan juga memasuki bidang-bidang spesialisasi tertentu seperti konsultan laktasi, dan beberapa pekerjaan dalam praktek yang tidak terikat.

b.      Dokter Obstretri
Dokter ahli obstetric adalah dokter yang sudah mendapatkan pendidikan dengan kualifikasi khusus dalam bidang spesialisasi kebidanan atau obstetric, memiliki pengalaman postgraduate dan melakukan pemeriksaan untuk ibu hamil, bersalin secara nifas. Dokter obstetri bekerja di rumah sakit umum sebagai konsultan, dan kepala setiap Klinik atau Unit kebidanan di rumah sakit tersebut adalah dokter obstetric senior yang dapat dibantu oleh dokter-dokter obstetrilainnya. Pada Unit Kebidanan bisa ditemukan residen yang sedang menjalani pendidikan spesialis untuk manjadi ahli obstetri. Dokter obstetri juga memberikan asuhan maternitas secara individual atau personal, dan ibu hamil dapat menjalani pemeriksaan antenatal pada praktek pribadi dokter obstetric. Sebagian besar dokter obstetric memiliki jatah tempat tidur bagi pasien-pasiennya di bangsal-bangsal rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta yang besar.

c.       Dokter Umum
Dokter umum juga terlibat dalam asuhan maternitas. Kadang-kadang dokter umum memiliki kelebihan karena memahami dan merawat keluarga pasien sehingga mengetahui secara lebih luas kebutuhan atau permasalahan yang mempengaruhi kehamilan. Dokter umum biasanya memiliki perjanjian dengan sejumlah dokter obsetetri untuk keperluan konsultasi dan rujukan jika pelayanan spesialis ini diperlukan. Beberapa dokter umum mungkin memiliki Diploma Obstetri dan Ginekologi sehingga mereka diperbolehkan melakukan tindakan obstetric sederhana, seperti pemakaian vakum ekstraksi untuk persalinan tanpa komplikasi.

d.      Profesional Medis Lain
Ibu hamil dapat dirujuk professional kesehatan lainnya atau ia dapat memutuskan sendiri konsultasi pada professional kesehatan lainnya untuk memperoleh nasihat, penyuluhan atau tindakan tambahan selama kehamilannya. Konsultasi pada ahli gizi diperlukan untuk perencanaan makan dan penyuluhan gizi; konsultasi pada fisioterapis untuk latihan antenatal, persiapan persalinan  dan teknik relaksi; konsultasi pada konsultan payudara untuk perawatan payudara serta putting susu dan kemudian untuk pengawasan serta bantuannya dalam pemberian ASI; dan konsultasi pada petugas penyuluhan untuk calon ayah serta ibu (parent craft teacher) diperlukan guna mendapatkan nasihat mengenai hal-hal di luar kelahiran bayi seperti cara membeli perlengkapan bayi, perencanaan belanja yang sederhana, segi-segi keamanan dan ketrampilan dasar dalam perawatan bayi. Pekerjaan sosial, ulama dan ahli farmasi mungkin dibutuhkan pula untuk perawatan ibu hamil serta keluarganya.

Pengertian Paritas (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Jogja, Kedokteran, Judul Kedokteran, Keperawatan, Judul Keperawatan, kesehatan, Judul Kesehatan)


                  Paritas atau para adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu hidup di luar (28 minggu) (Pusdiknakes,2003)
Berdasarkan paritasnya, wanita dapat digolongkan menjadi :
                        1). Nulipara memiliki paritas 0
                        2). Primipara memiliki paritas 1
                        3). Sekundipara memiliki paritas 2
                        4). Multipara memiliki paritas >2-5
                        5). Grandemultipara memiliki paritas .5 (Manuaba,2005)
                              Parturient atau paritas merupakan jumlah kehamilan yang mencapai tahap viabilitas dan jumlah bayi yang dilahirkan yang menentukan digolongkannya menjadi :
                        1). Primipara adalah seorang wanita yang pernah sekali melahirkan janin yang mencapai viabilitas.
                        2). Multipara adalah seorang wanita yang pernah dua kali atau lebih hamil sampai usia viabilitas.
                        3). Nulipara adalah seorang wanita yang belum pernah menyelesaikan kehamilannya melebihi usia abortus                     ( Cunningham, 2006) 

Pengobatan Kanker Serviks (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Jogja, Kedokteran, Judul Kedokteran, Keperawatan, Judul Keperawatan, kesehatan, Judul Kesehatan)


      Menurut (Wiknjosasto, 2006) pada tingkat klinik (KIS) tidak dibenarkan dilakukan elektrokoagulasi atau elektrofulgerasi, bedah mikro (cryosurgery) atau dengan sinar laser, kecuali bila yang menangani seorang ahli dalam kolposkopi dan penderitanya masih muda dan bahkan belum mempunyai anak. Bila penderita telah cukup tua, atau sudah mempunyai cukup anak, uterus tidak perlu ditinggalkan, agar penyakit tidak kambuh (relapse) dapat dilakukan histerektomi sederhana.
               Pada tingkat klinik IA, umumnya dianggap dan ditangani sebagai kanker yang invasive. Bilamana kedalaman invasi <1mm area="" atau="" dan="" darah.="" limfa="" luas="" melibatkan="" meliputi="" o:p="" pembuluh="" serta="" tidak="" yang="">
               Pada klinik IB,IB occ dan IIA dilakukan histerektomi radikal dengan limfadenektomi panggul. Pasca bedah biasanya dilakukan dengan penyinaran, tergantung ada tidaknya sel tumor dalam kelenjar limfa regional yang diangkat.
               Pada tingkat IIB,III dan IV tidak dibenarkan melakukan tindakan bedah, untuk ini primer adalah radioterapi. Sebaiknya karsinoma serviks selekasnya segera dikirim ke pusat penanggulangan kanker.
               Pada tingkat klinik IVA dan IVB penyinaran hanya bersifat paliatif. Pemberian kemoterapi dapat dipertimbangkan. Pada penyakit yang kambuh satu tahun sesudah penaganan lengkap dapat dilakukan operasi jika terapi terdahulu adalah radiasi dan prosesnya masih terbatas pada panggul. Bilamana proses sudah jauh atau operasi tak mungkin dilakukan, harus dipilih khemoterapi bila syarat-syarat terpenuhi.          

Etiologi dan faktor Resiko Kanker Serviks (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Jogja, Kedokteran, Judul Kedokteran, Keperawatan, Judul Keperawatan, kesehatan, Judul Kesehatan)


               Kanker servik sering dijumpai pada wanita yang sering melahirkan usia perkawinan terlalu muda atau hubungan sex pada umur muda disebabkan adanya hubungan dengan belum matangnya daerah transformasi pada umur tersebut bila seseorang terekspos. Prevalensi pada wanita tuna susila lebih tinggi uteri banyak didapatkan pada wanita yang suaminya tidak sirkum sisi . Hal ini disebabkan  oleh senggama suami yang mengandung bahan karsinogenesis. Kanker serviks banyak di dapat pada wanita dengan sosial ekonomi dan kebersihan yang rendah. Faktor sosial ekonomi adalah kaitan dengan gizi dan imunitas.
                     Menurut Black and Matassorin (1997) pada fase permulaan karsinoma serviks belum terdapat keluhan. Gejala-gejala yang sering timbul di tentukan pada kanker serviks adalah pervaginam abnormal yang bervariasi antara lain contact bleeding ( pendarahan saat berhubungan seksual) pendarahan setelah sua tahun positif menopause (nyeri pinggang, pinggul yang persisten, kostipasi, ganguan miksi, berat badan yang semakin menurun dan pendarahan yang mirip dengan cairan cucian daging berbau busuk biasanya terjadi pada stadium lanjut.
                                    Maka perlu adanya komunikasi untuk mendiagnosisi penyakit ini antara lain pemeriksaan sitologi (pap smear) pemeriksaan dalam uterus, sinar Xorografi intravena, pemeriksaan foto, taraks, biopsi. Pemeriksaan papsmear digunakan untuk mendeteksi dini adanya keganasan, menilai keadaaan hormonal dan mengetahui daya mikroorganisme ( Velve, 1996)  

Gejala Kanker Serviks (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Jogja, Kedokteran, Judul Kedokteran, Keperawatan, Judul Keperawatan, kesehatan, Judul Kesehatan)


Menurut (Dian, 2007) pada fase pra kanker sering tidak ada  gejala atau tanda-tanda khas. Namun, kadang bisa ditemukan gejala-gejala sebagai berikut :
1). Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina
2). Pendarahan setelah senggama yang kemudian berlanjut menjadi
     pendarahan yang abnormal.
3). Timbul pendarahan setelah masa menopause.
4). Pada fase invasive dapat keluar cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau dan dapat bercampur dengan darah.
5). Timbul gejala-gejala anemia bila terjadi pendarahan kronis.
6). Timbul nyeri panggul ( pelvis) atau perut di bagian bawah bila radang panggul. Bila nyeri di daerah pinggang ke bawah, kemungkinan terjadi hidronefrosis, selain itu juga timbul nyeri di daerah lain-lain.
7)  Pada stadium lanjut, badan menjadi kurus kering karena kurang gizi, edema kaki, timbul iritasi kandung kemih dan poros usus besar bagian bawah ( rectum), terbentuknya fistel vesiko-vaginal atau rekto vaginal atau timbul gejala-gejala akibat metatase jauh.

Patologi Kanker Serviks (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Jogja, Kedokteran, Judul Kedokteran, Keperawatan, Judul Keperawatan, kesehatan, Judul Kesehatan)


                        Menurut Wiknjosastro (2006) karsinoma serviks timbul di batas antara epitel yang melapisi ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis serviks yang disebut sebagai squamus columnar junction (SCJ) pada wanita muda SCJ ini berada di luar ostium uteri eksternum, sedang pada wanita berumur >35 tahun, SCJ ini berada di dalam kanalis serviks. Pada awal-awal perkembangan kanker serviks tidak memberi tanda-tanda dan keluhan.  

Penyebaran kanker serviks (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Jogja, Kedokteran, Judul Kedokteran, Keperawatan, Judul Keperawatan, kesehatan, Judul Kesehatan)

            Menurut (Wiknjosastro,2006) pada umumnya secara limifogen  melalui pembuluh getah bening menuju 3 arah :
1).Ke arah fornises dan dinding vagina
2). Ke arah korpus uterus
3).Kearah parametrium dan dalam tingkatan yang lanjut menginfiltrasi septum retrovaginal dan kandung kemih.
            Melalui pembuluh getah bening dan parametrium kanan dan kiri sel tumor dapat menyebar ke kelenjar iliak dan dalam (hipogastrika). Penyebaran melalaui pembuluh darah (bloodborne metasis) tidak lazim. Karsinoma serviks umumnya terbatas pada daerah panggul saja. Tergantung dari kondisi imunologik tubuh penderita KIS akan berkembang menjadi mikro invasive dengan menembus membrana basalis dengan kedalaman invasi <1 atau="" belum="" dalam="" dan="" darah.="" jika="" limfa="" mm="" nbsp="" pembuluh="" sel="" sudah="" terdapat="" terlihat="" tumor=""> 1 mm dari membrane basalis, atau < 1 mm tetapi sudah tampak berada dalam pembuluh limfa atau darah, maka proses sudah invasive.
            Sesudah tumor menjadi invasive, penyebaran secara limfogen ke pembuluh limfa regional dan secara perkontinuitatum (menjalar) menuju fornises vagina, korpus uterus, rectum dan kandung kemih yang pada tingkat akhir (terminal stage) dapat menimbulkan fistula rectum atau kandung kemih.

Sebab-sebab kanker serviks (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Jogja, Kedokteran, Judul Kedokteran, Keperawatan, Judul Keperawatan, kesehatan, Judul Kesehatan)


         Menurut Wiknjasastro (2006), sebab langsung kanker serviks belum diketahui. tahun) insiden meningkatnya dengan tingginya paritas, apalagi jika jarak persalinan terlampau dekat. Mereka dari golongan sosial ekonomi rendah (hygine seksual yang jelek), aktivitas seksual yang sering berganti-ganti pasangan (promiskuitas), sering ditemukan pada wanita tipe 18 atau 18, dan akhirnya kebiasaan merokok.
         Menurut Sarjadi (1995) faktor penyebab kanker serviks adalah :
1)      Umur pertama kali kawin yang relative muda (dibawah 20 tahun) dikatakan bahwa pada umur muda maka epitel serviks uteri belum cukup kuat untuk menerima rangsangan spermatozoa. Umumnya epitel serviks uteri baru matang setelah wanita berusia 20 tahun.
2)      Jumlah kelahiran per vaginam yang cukup banyak, dimana melahirkan anak lebih dari tiga kali akan mempertinggi resiko.
3)      Hubungan seksual yang terlalu sering (oleh karena menikah pada usia muda) terlebih dengan pasangan yang berbeda-beda akan meninggikan resiko.
4)      Hygine atau sanitasi alat genital yang kurang baik, sehingga mempermudah terjadinya servitisis yang dipercaya erat kaitannya dengan terjadinya kanker serviks.
5)      Sering ditemukan pada wanita yang menggalami infeksi virus HPV tipe 16 atau 18 Herpes simpleks virus tipe I dianggap sebagai agen karsonogenik pada kanker serviks
Menurut Dian (2007) ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker serviks antara lain adalah :
1). Hubungan seks pada usia muda atau pernikahan pada usia muda faktor ini merupakan faktor resiko utama. Semakin muda seseorang perempuan melakukan hubungan seks, semakin besar resikonya untuk terkena kanker serviks. Berdasarkan penelitian para ahli, perempuan yang melakukan hubungan seks pada usia kurang dari 17 tahun mempunyai resiko 3 kali lebih besar dari yang menikah pada usia lebih muda dari 20 tahun.
2).  Berganti-ganti pasangan seksual. Perilaku seksual berupa gonta-ganti pasangan seks akan meningkatkan penularan penyakit kelamin. Penyakit yang ditularkan seperti infeksi HPV telah terbukti dapat meningkatkan timbulnya kanker serviks, penis dan vulva. Resiko terkena kanker serviks menjadi 10 kali lipat pada wanita yang mempunyai partner seksual 6 orang atau lebih. Di samping itu, virus herpes simpleks tipe 2 dapat menjadi faktor pendamping.
3).  Merokok, wanita perokok memiliki resiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukan, lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang ada di dalam rokok. Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan serviks di samping menurunkan ko-karsinogen infeksi virus.
4).  Defisiensi zat gizi ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa defisiensi asal folat dapat meningkatkan resiko terjadinya displasia ringan dan sedang, serta mugkin juga meningkatkan resiko terjadinya kangker serviks pada wanita yang makanannya rendah beta karoten dan retinol ( Vitamin A)
5).  Trauma kronis pada serviks seperti persalinan, infeksi dan iritasi menahun. 

Pengertian Kanker Serviks (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Jogja, Kedokteran, Judul Kedokteran, Keperawatan, Judul Keperawatan, kesehatan, Judul Kesehatan)


         Kanker serviks adalah kanker yang terjadi pada serviks uterus, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk area ke arah rahim yang terletak antara uterus dengan liang senggama (vagina) (Riono,1999)
         Menurut Rahardjo (1999) Kanker serviks adalah kanker yang menyerang rahim bagian bawah, seperti diketahui stadium kanker serviks dapat awal sampai lanjut pada stadium Ia dan Ib panyakit kanker masih terlokalisasi pada leher rahim saja. Pada stadium IIa keatas tumor sudah meluas ke vagina, jaringan sekitar rahim, dinding panggul. Kandung kemih, poros usus bahkan bisa menyebar ke paru, tulang, maupun otak.
         Pemicu dari kanker serviks adalah antara lain : wanita yang menikah umur muda, wanita yang melakukan senggama dini, wanita dengan sosial ekonomi rendah, wanita yang sering ganti patner, wanita dengan kebersihan alat kewanitaan yang kurang, wanita yang mempunyai banyak anak terutama jarak persalinan yang terlalu dekat, perokok, dilaporkan pula wanita yang menikah dengan suami yang tidak sunat (menurut statistik).  

Pengkajian Halusinasi (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Jogja, Kedokteran, Judul Kedokteran, Keperawatan, Judul Keperawatan, kesehatan, Judul Kesehatan)

Pengkajian pasien dengan halusinasi ada 4 poin pokok pengkajian yang dilakukan sebagai berikut:
1.       Isi halusinasi yang dialami klien
Hal ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, berkata apabila halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar atau bentuk bayangan yang dilihat oleh klien, bila halusinasinya adalah halusinasi penglihatan, bau apa yang tercium untuk halusinasi bau atau hirup, rasa apa yang dikecap, untuk halusinasi pengecapan, atau merasakan apa yang dipermukaan tubuh bila halusinasi perabaan. Informasi ini penting untuk menentukan menetukan jenis halusinasi dengan isi halusinasi.
2.       Waktu dan frekuensi halusinasi
Hal ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul. Bila memungkinkan klien diminta menjelaskan kapan persisnya waktu terjadi halusinasi tersebut. Imformasi ini penting untuk mengidentifikasikan bilamana klien perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi.
3.       Situasi pencetus halusinasi
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang di alami klien sebelum mengalami halusinasi. Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kejadian yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain itu perawat juga dapat mengobservasi apa yang dialami klien menjelang muncul halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.
  4.       Respon klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien, bisa dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien mampu mengontrol stimulasi halusinasi atau sudah tidak berdaya terhadap stimulasi
Namun dalam pengkajian pasien dengan tingkatan di mana komunikasi tidak dapat lagi dilaksanakan maka dapat dilakukan penggalian tambahan informasi dari keluarga atau perawat yang sudah lama ikut merawatnya. Penggalian informasi dari keluarga biasanya dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan kepercayaan. Oleh karena itu baik pengkajian pasien maupun dari keluarga bersifat subjektif atau sangat tergantung pendapat secara individual. 

Jenis Indra Terpengaruh Halusinasi (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Jogja, Kedokteran, Judul Kedokteran, Keperawatan, Judul Keperawatan, kesehatan, Judul Kesehatan)

Menurut Stuart dan Laraia cit. Nurjannah (2008), mengkategorikan jenis indera dimana halusinasi berpengaruh terdapat beberapa macam yaitu :
1.       Pendengaran (auditory)
      Sesuai dengan namanya yaitu pendengaran, maka jenis halusinasi ini terkait dengan kondisi dimana pasien sering mendengar suara-suara dan pasien meyakini bahwa  suara tersebut tampak nyata. Isi dari suara tersebut dapat berupa  suara berbisik atau suara-suara yang berbicara tentang pasien, suara perbincangan beberapa orang, suara yang membicarakan apa yang pasien pikirkan, suara yang memerintah dan kadang suara tersebut memerintahkan pasien untuk melakukan sesuatu.
2.       Penglihatan (visual)
      Halusinasi penglihatan yang dialami pasien dikaitkan dengan kondisi dimana pasien mungkin melihat gambaran seperti bentuk lintasan cahaya, gambaran geometris, gambaran kartun, atau pandangan yang terperinci atau komplek. Pandangan tersebut bisa menyenangkan atau menakutkan bagi pasien
3.       Penciuman (olfactory)
      Jenis halusinasi ini, pasien mungkin mencium bau busuk dan, sangat menjijikan, bau tengik seperti darah atau  air kencing, tetapi kadang-kadang bau yang dihirup pasien adalah bau yang menyenangkan. Halusinasi penciuman ini umumnya berkaitan dengan stroke, tumor, atau kejang.
4.       Pengecap (gustatory)
      Pasien merasa halusinasi ini pada indra pengecapan dimana pasien merasa mengecap sesuatu yang busuk, yang menjijikan seperti kotoran manusia, rasa tengik seperti darah atau air kencing.
5.       Peraba (tactile)
      Pasien yang mengalami halusinasi peraba ini, merasakan tidak nyaman atau nyeri tanpa adanya rangsangan yang bisa diidentifikasi. Contoh dari halusinasi ini adalah adanya perasaan bahwa pasien  merasakan sensasi listrik datang dari tanah, obyek mati atau orang lain.
6.       Cenesthetic
      Halusinasi ini adalah halusinasi dimana pasien merasakan fungsi tubuhnya sendiri misalkan pasien merasakan darahnya mengalir melalui pembuluh darah, merasakan bagaimana makanan dicerna dan merasakan bagaimana pembentukan air kencing.
7.       Kinestetic
      Halusinasi jenis ini terkait dengan kondisi dimana pasien merasakan tubuhnya bergerak pada saat berdiam atau sebaliknya merasakan tubuhnya diam saat dia bergerak.

Jenis Halusinasi (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Jogja, Kedokteran, Judul Kedokteran, Keperawatan, Judul Keperawatan, kesehatan, Judul Kesehatan)

Berdasarkan tingkat proses halusinasi menurut Stuart dan Sundeen (1995) dibagi empat yaitu:
1.       Tingkat I: Comforting
      Halusinasi pada tingkat I ini ditandai dengan adanya ansietas/kecemasan. Individu yang dapat mengelola kecemasan akan mampu mengontrol pikiran dan pengalaman sensorinya. Perilaku pasien yang dapat diobservasi pada tingkat halusinasi 1 ini adalah: pasien tampak tersenyum lebar; menyeringai tetapi tampak tidak tepat; menggerakkan bibir tanpa membuat  suara; pergerakkan mata yang cepat; respon verbal yang lambat seperti asyik, serta diam dan tampak asyik.
2.       Tingkat II: Condemming
Seseorang yang mengalami halusinasi tingkat II mengalami kecemasan tingkat berat. Tingkat halusinasi ini juga bisa ditandai dengan pengalaman halusinasi yang bersifat menjijikan atau menakutkan
3.       Tingkat II: Condemming
 Seseorang yang mengalami halusinasi tingkat II mengalami kecemasan tingkat berat. Tingkat halusinasi ini juga bisa ditandai dengan pengalaman halusinasi yang bersifat menjijikan atau menakutkan.
4.       Tingkat IV: Conquering
Halusinasi pada tingkat IV ini ditandai dengan kondisi dimana seseorang menjadi panik, dan ketakutan. Isi halusinasi pada tingkat IV ini sudah mengancam jika individu yang berhalusinasi tersebut tidak mengikuti perintah dari halusinasinya.

Pengertian Halusinasi (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Jogja, Kedokteran, Judul Kedokteran, Keperawatan, Judul Keperawatan, kesehatan, Judul Kesehatan)

Halusinasi adalah kesalahan persepsi yang berasal dari lima panca indera (pendengaran, penglihatan, peraba, pengecap, penghidu) (Stuart & Laraia, 2001 cit. Nurjannah, 2008). Menurut Maramis (1990), halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indera seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasar mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan halusinasi adalah kesalahan persepsi yang timbul akibat tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indera seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasar mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik

Gejala Skizofrenia (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Jogja, Kedokteran, Judul Kedokteran, Keperawatan, Judul Keperawatan, kesehatan, Judul Kesehatan)

Menurut Hawari (2006) yaitu ada 2 gejala yang tampak pada penderita  seperti dibawah ini:
1)      Gejala positif
Gejala-gejala positif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia adalah sebagai berikut:
a)       delusi atau waham yaitu suatu keyakinan yang irrasional dan penderita menyakini kebenarannya,
b)      Halusinasi yaitu pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus),
c)       Kekacauan alam pikir yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya, misalnya bicara kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.
d)      Gaduh gelisah, tidak dapat diam, mondar mandir, agresif, bicara dengan semangat dan rasa gembira berlebihan.
e)       Merasa dirinya orang besar, merasa serba mampu, serba sehat dan sejenisnya.
f)       Pikiran penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada seseorang yang mengancam dirinya.
g)      Menyimpan rasa permusuhan.
2)      Gejala negatif
      Gejala-gejala yang dimaksud disebut gejala negatif karena merupakan kondisi kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Gejala negatif ini di dalamnya termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktifitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia) (Hawari, 2009). Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia secara rinci adalah sebagai berikut : Alam perasaan (afek) tumpul dan datar, gambarannya dapat terlihat dari wajah pasien yang  tidak menunjukan ekspresi, Kontak emosional amat miskin sukar diajak bicara, pendiam, pasif dan apatis, menarik diri dari lingkungan sosial,  sulit dalam berpikir abstrak, tidak ada atau kehilangan dorongan kehendak (avolition) tidak ada inisiatif, tidak ada upaya dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton, serba malas (kehilangan nafsu)