Jumat, 16 Desember 2016

Keterlibatan Rusia Dalam Konflik Georgia-Ossetia Selatan (skripsi dan tesis)


Konflik Georgia dan Rusia merupakan konflik yang diawali oleh masuknya kepentingan Rusia dalam wilayah konflik antara Georgia dengan Ossetia. Konflik Rusia dan Georgia bermulai dari Provinsi Ossetia Selatan melepaskan diri dari kontrol Georgia di tahun 1992. Saat itu Rusia memberikan paspor pada penduduknya dan membujuk pemimpin separatis setempat untuk bergabung dengan Rusia. Sementara Georgia, yang tentaranya dilatih tentara AS, mulai berusaha mendapatkan kembali kendali atas Ossetia Selatan.[1]
Kondisi masyarakat Georgia yang majemuk telah menjadikan negara ini menghadapi konflik yang berkepanjangan. Kondisi masyarakat Georgia terdiri dari berbagai etnis dan budaya. Georgia merupakan pecahan dari Uni Soviet yang kita tahu mempunyai keanekaragaman etnis suku dan budaya sehingga sulit untuk mewujudkan integrasi.
Akhir Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet turut menyebabkan bertambahnya jumlah perang saudara karena bebasnya aspirasi politik dan nasionalisme yang muncul secara tiba-tiba. Meskipun kudeta yang berhasil, revolusi, atau perubahan pemerintahan di negara sosialis hampir selalu membawa pemerintahan yang pro barat ke tempuk kekuasaan, namun tidak jarang kekuatan-kekuatan yang menggulingkan pemerintahan itu kemudian terpecah-pecah tidak lama kemudian.
 Konflik Georgia-Rusia diawali oleh kepentingan Rusia yang mencoba mengklaim kembali konsep kedaulatan penuhnya. Kedaulatan ini diterapkan pada perspektif realis dalam hubungan internasional dimana negara memiliki kedaulatan penuh untuk melakukan apa saja terhadap yang melanggar batas wilayahnya. Pelanggaran batas wilayah ini kemudian konsepnya dikembangkan oleh negara modern dengan konsep citizenship/kewarganegaraan. Ossetia Selatan, hampir 60%nya memiliki kewarganegaraan Rusia. Penyerangan yang dilakukan tentara Georgia terhadap pemberontak Ossetia Selatan menyebabkan Rusia turun tangan untuk melindungi warganya sehingga terjadilah pertempuran antara pasukan Georgia melawan pasukan Rusia. Keputusan untuk melakukan operasi militer di Ossetia Selatan dimulai ketika ada serangan retaliasi Georgia. Georgia mengklaim bahwa Rusia terlebih dulu melakukan serangan pertama.
Salah satu hal yang menyebabkan Rusia bertindak agresif terhadap Georgia adalah ketika Georgia mencoba masuk menjadi anggota NATO. Artinya, bahwa konfigurasi sejarah membuat hubungan kedua aktor ini semakin meruncing. NATO sebagai bagian dari “peradaban barat” masih ditolak oleh Russia. Lepasnya Georgia merupakan masalah besar bagi Rusia dalam strategi militer dan strategi bahan energy yang berkedudukan di Asia kecil (seluruh negara tetangga Georgia).
 Banyaknya negara bekas Uni Soviet yang juga ingin menjadi anggota Uni Eropa sangat mengkhawatirkan Rusia, karena dengan integrasi negara-negara tersebut ke dalam Uni Eropa, maka otomatis Rusia akan kehilangan kesempatannya secara total untuk mendominasi negara-negara tersebut. Walaupun Uni Eropa tidak menjalankan program seagresif NATO, tetapi penolakan keras Rusia terhadap keinginan Georgia untuk menjadi anggota NATO maupun Uni Eropa cukup menjadi bukti tekad Rusia untuk berupaya membangun kembali hegemoninya di Kaukasus, sekaligus membendung aliran dukungan negara-negara Kaukasia, termasuk Georgia, dengan cara mendukung perluasan ladang minyak baru di kaukasia dan ancaman untuk menghentikan suplai minyak ke Eropa dan Amerika Serikat, mengingat posisi Rusia sebagai penyuplai gas terbesar bagi Uni Eropa dan penyalur minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi untuk Amerika Serikat. Aspek ketergantungan energy oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat inilah yang dipandang penting oleh Rusia karena bagaimanapun Rusia masih menyimpan keinginan besar untuk kembali menjadi negara adidaya.
Kepentingan lain adalah kepentingan Russia untuk menertibkan wilayah penyangganya. Situasi semakin tidak menguntungkan bagi Rusia sebagai “past great power” yang pernah menjadi rival setara bagi AS. Setelah perdebatan sengit tentang theater rudal pertahanan AS, kini terjadi konflik di daerah penyangga Rusia. Konflik ini akan berpotensi untuk menyebar dalam beberapa tataran. Tataran yang pertama, konflik ini akan menyebar kedaerah sekitarnya. Penyebaran konflik ini termasuk ke dalam wilayah Russia itu sendiri. Penyebaran ini terjadi melalui dua cara, trans-konflik dan trans-isu. Trans-konflik menyebar melalui perantara perpindahan pertempuran yang merambat hingga kedalam teritori Russia dan sekitarnya. Trans-isu artinya akan membangkitkan common-awakening antara daerah-daerah sejenis yang rawan akan issu kemerdekaan yang kemudian akan berpotensi untuk membuat tindakan yang sama terhadap Russia. Common-awakening ini yang berpotensi memecah Rusia secara massive atau besar-besaran.



Tidak ada komentar: