Rabu, 04 November 2015

Kesantunan Berbahasa


Kesantunan sangat kontekstual, artinya berlaku dalam masyarakat, tempat,atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atausituasi lain. Kesantunan selalu memiliki dua kutub, seperti antara anak danorang tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, antara mahasiswa dan dosen, dan sebagainya (Muslich, 2006:1). Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewattanda verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi
Fraser dalam Gunarwan (1994) mendefinisikan kesantunan adalah “property associated with neither exceeded any right nor failed to fullfill any obligation”. Dengan kata lain kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya.
Beberapa ulasan Fraser mengenai definisi kesantunan tersebut yaitu Pertama, kesantunan itu adalah properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga si pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar santun, dan demikian pula sebaliknya. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar santun atau tidak, ini ”diukur” berdasarkan (1) apakah si penutur tidak melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah di penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya itu.
Untuk menjalin hubungan yang “mesra” dan demi “keselamatan” dalam berkomunikasi kita perlu mempertimbangkan segi sopan-santun berbahasa. Sopan-santun dalam berkomunikasi dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara P dengan MT. Dalam hal ini, kesopansantunan merupakan (1) hasil pelaksanaan kaidah, yaitu kaidah sosial, dan (2) hasil pemilihan strategi komunikasi.
Dalam teori kesantunan berbahasa lain menurut Brown dan Levinson berkisar pada nosi muka (face). Semua orang yang rasional memiliki muka (dalam arti kiasan) dan muka itu harus dijaga, dipelihara, dihormati, dan sebagainya. Menurut mereka nosi muka itu dapat dibedakan menjadi muka negatif dan muka positif. Muka negatif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Sedangkan muka positif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini (sebagai akibat dari apa yang dilakukan atau dimilikinya itu) diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, dan seterusnya. Kesantunan imperatif berkenaan dengan muka negatif, dimana tuturan ini berfungsi untuk membuat mitra tutur melakukan sesuatu.
Sebuah tindakan ujaran dapat merupakan ancaman terhadap muka. Tindak ujaran seperti itu oleh Brown dan Levinson disebut sebagai Face Threatening Act (FTA). Untuk mengurangi ancaman itulah di dalam berkomunikasi kita perlu menggunakan sopan santun bahasa. Karena ada dua sisi muka yang terancam yaitu muka negatif dan muka positif, maka kesantunan pun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan positif (untuk menjaga muka positif). Sopan santun dalam penggunaan imperatif pada contoh di bawah ini misalnya, dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dan petutur, yang sebenarnya tidak lagi demikian. Muka penutur pun dapat terancam oleh tindak ujarannya. Sebuah ajakan, misalnya, dapat mengancam muka penutur. Untuk melindungi muka dari ancaman itu, penutur dapat menggunakan tindak ujar tak langsung.
Dalam berkomunikasi terdapat dua kaidah kompetensi pragmatik yang sangat penting, yakni “buatlah perkataan Anda jelas” (make yourself clear), dan “bersopan-santunlah” (be polite). Dalam hubungannya dengan kesopansantunan, R. Lakoff mengusulkan tiga kaidah sopan-santun (seperti dituturkan oleh Gunarwan, 1993: 8; dan Ibrahim, 1993: 320) sebagai berikut.
a.       Formalitas, artinya jangan menyela, tetaplah bersabar, dan jangan memaksa.
b.       Kebebasan pilihan (keluwesan), artinya buatlah sedemikian rupa sehingga MT Anda dapat menentukan pilihan dari berbagai tindakan.
c.       Kesekawanan (kesederajatan), artinya bertindaklah seolah-olah antara Anda dengan MT Anda sama atau sederajat, dan buatlah agar MT Anda merasa enak/senang.
Dengan demikian, sebuah ujaran akan dinilai santun apabila P tidak terkesan memaksa, ujaran itu memberikan alternatif pilihan tindakan kepada MT, dan MT merasa senang. Dalam hal ini, berbagai bentuk strategi komunikasi dapat kita tempuh agar ujaran kita bernilai sopan-santun tinggi.
a.      Dilarang merokok!
b.      Dilarang merokok di dalam ruangan ini.
c.       Tidak dibenarkan merokok di dalam ruangan ber-AC.
Di samping tiga kaidah sopan-santun yang diusulkan Lakoff tersebut Leech (1983: 123; 1993: 194-195) mengemukakan adanya tiga skala yang perlu dipertimbangkan untuk menilai derajat kesopansantunan suatu ujaran, yaitu yang disebut “skala pragmatik”. Tiga skala kesantunan menurut Leech yaitu:
a.         Cost-benefit scale: Representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan.
b.        Optionality scale: Indicating the degree of choice permitted to speaker and/or hearer by a spesific linguistic act. Optionally scale atau skala pilihan menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur.
c.         Indirectness scale: Indicating the amount of inferencing required of the hearer in order to establish the intended speaker meaning. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.
d.        authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan yang digunakan akan cenderungmenjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosialdiantara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yangdigunakan dalam bertutur itu.
e.          sosial dictance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur
Dalam teori tentang prinsip kesantunan Leech menggariskan enam prinsip yang harus dilakukan oleh peserta pertuturan bila hendak berbicara sopan dengan orang lain dan maksim-maksim kesantunan yaitu (1) kebijaksanaan, (2) kemurahatian, (3) penerimaan, (4) kerendahan hati, (5) kecocokan, dan (6) kesimpatian. Maksim ini juga menjadi sumber implikatur percakapan yang memiliki fungsi menunjang pengungkapan humor karena dalam aktivitas berhumor seringkali menyimpang dengan prinsip-prinsip kesantunan.
Untuk selanjutnya dalam penelitian ini akan menggunakan prinsip kesantunan Leech dalam enam prinsip. Oleh karenanya untuk selanjutnya peneliti akan menguraikan dalam uraian di bawah ini:
1.    Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
Setiap peserta pertuturan meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Contoh pematuhan
(+) : Mari saya bawakan buku Anda.
(−) : Jangan tidak usah (Wijana, 1996: 56)
Dengan perkataan lain, menurut maksim ini, kesantunan dalam bertutur dapatdilakukan apabila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik.
2.    Maksim Penerimaan ( Approbation Maxim)
Diutarakan dengan kalimat komisif dan impositif. Agar setiap penutur sedapatmungkin menghindari mengatakan sesuatu yang tidak mengenakan orang lain, terutamakepada orang yang diajak bicara (lawan tutur).
Contoh pematuhan :
(+) : Saya mengundangmu ke rumah untuk makan malam.
(−) : Terima kasih (Wijana, 1996; 57)
Dengan perkataan lain, menurut maksim ini, bahwa orang dianggap santun dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada orang lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci,atau saling merendahkan pihak yang lain.
3.    Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
Dengan maksim kemurahan ini, para peserta pertuturan diharapkan dapatmenghormati orang lain. Penghormatan ini akan terjadi apabila orang dapat mengurangikeuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku santun, tetapi didalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan berperilaku demikian (Wijana, 1996: 55-60).
Contoh Pematuhan :
(+) : Permainan Anda sangat bagus.
(−) : Ah, biasa saja. Terima kasih. (Wijana, 1996: 58)
4.    Maksim Kerendahan Hati ( Modesty Maxim)
Diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Bila kemurahan hati berpusat pada orang lain, maksim ini berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntutsetiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Contoh Pelanggaran :
(+) : Kau sangat pandai.
(−) : Ya, saya memang pandai.
5.    Maksim Kesepakatan/Kecocokan ( Agreement Maxim)
Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajibmemberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan atau musibah,  penutur layak berduka cita, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tandakesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yangmendapatkan kebahagiaan dan kedukaan.
Contoh Pelanggaran
:(+) : Kemarin motorku hilang
.(−) : Oh, kasian deh lu. (Wijana, 1996:60)
6.    Maksim Simpati (Sympath Maxim)
Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan atau musibah, penutur layak berduka cita, atau mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tandakesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yangmendapatkan kebahagiaan dan kedudukan.Contoh
Pelanggaran :
(+) : Kemarin motorku hilang.
(−) : Oh, kasian deh lu (Wijana, 1996:61)

Tidak ada komentar: